Laporan wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mengatakan skema power wheeling atau pemanfaatan bersama jaringan listrik negara yang masuk dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET), tak memiliki urgensi.
Kepala Center of Food, Energy, and Sustainable Development INDEF, Abra Talattov memandang skema tersebut hanya pemanis dalam menstimulasi investasi pembangkit EBT, dan tak ada urgensi pada kondisi sektor ketenagalistrikan saat ini.
"Saya menilai skema power wheeling ini hanya sekedar sebagai pemanis atau sweetener dalam menstimulasi investasi pembangkit EBT, padahal kondisinya sangat tidak urgen berkaca pada kondisi eksisting sektor ketenagalistrikan saat ini," kata Abra dalam keterangannya, Selasa (21/11/2023).
Pemerintah kata dia,sebenarnya telah menggelar karpet merah bagi swasta untuk memperluas bauran EBT sebagaimana dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030.
Dalam RUPTL disebutkan, target tambahan pembangkit EBT mencapai 20,9 gigawatt (GW) dengan porsi swasta mencapai 56,3 persen atau setara 11,8 GW.
Baca juga: Komisi VII DPR Sebut Skema Power Wheeling di RUU EBET Bakal Sulitkan Negara Kendalikan Tarif Listrik
Selain itu menurutnya, ide penerapan skema power wheeling menjadi tak relevan mengingat saat ini beban negara yang semakin berat menahan kompensasi listrik akibat kondisi pasokan berlebih listrik yang terus melonjak.
Kondisi sektor ketenagalistrikan terjadi disparitas yang lebar antara pasokan dan permintaan tenaga listrik. Terbukti oversupply listrik terus meningkat tiap tahunnya di mana oversupply pada tahun 2022 menyentuh 7 GW.
Situasi kondisi berlebih listrik tersebut lanjutnya, berpotensi terus membengkak, karena masih adanya penambahan pembangkit baru hingga 16,3 GW pada 2026 sebagai implikasi dari mega proyek 35 GW.
Abra mengatakan beban tersebut berpotensi jadi bom waktu bagi PLN karena bakal ada lonjakan kewajiban capacity payment dan denda yang harus dikeluarkan akibat penjualan listrik di bawah capacity factor.
Di sisi lain, ia mengingatkan bahwa kondisi besarnya pasokan berlebih tersebut juga tidak lepas dari melesetnya asumsi pertumbuhan permintaan listrik, di mana pada RUPTL 2019-2028 ditargetkan pertumbuhan permintaan rata-rata 6,4 persen per tahun.
Namun, realisasinya selama 2015-2021 rata-rata hanya 3,5 persen per tahun.
Dengan masuknya skema power wheeling, maka bisa berpotensi menggerus penjualan listrik PLN lebih banyak lagi.
Skema power wheeling juga dipandang akan menambah risiko melonjaknya over supply listrik yang bakal berdampak terhadap kesehatan keuangan negara.
"Di tengah kondisi oversupply listrik sebesar 1 GW saja, biaya yang harus dikeluarkan rakyat (tax payer) melalui kompensasi kepada PLN atas konsekuensi skema take or pay mencapai Rp 3 triliun per GW," ucap Abra.
Baca juga: Yulian Gunhar: Power Wheeling Adalah Liberalisasi PLN dalam RUU EBET
Di tengah meningkatnya beban oversupply listrik tersebut, tentu implikasinya adalah beban terhadap APBN baik dalam bentuk subsidi maupun kompensasi listrik.
Tidak hanya itu, risiko tambahan beban APBN juga dapat muncul karena adanya potensi tambahan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik sebagai konsekuensi masuknya pembangkit listrik dari skema power wheeling yang bersumber dari energi terbarukan dengan sifat intermiten.
Berkenaan dengan ini, ia menyarankan DPR sebagai ujung tombak RUU dapat mengkaji ulang risiko kebijakan skema power wheeling.
"Rakyat sekarang sudah sangat mengerti bahaya dari skema power wheeling terhadap kesejahteraan mereka di masa mendatang," ungkapnya.