Laporan wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto, meminta pemerintah menghentikan sementara (moratorium) semua operasional smelter perusahaan asal China di Indonesia.
Hal itu menyusul terjadinya ledakan hebat di smelter PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS) di kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP).
Mulyanto meminta Pemerintah mengaudit semua smelter tersebut secara ketat karena sering terjadi kecelakaan kerja yang mengakibatkan korban jiwa.
Dia bilang, audit harus dilakukan secara profesional, objektif, dan menyeluruh terhadap aspek keamanan dan keselamatan kerja.
Baca juga: Sikapi Kebakaran Smelter Nikel di Morowali, Kemenperin dan Kemenaker Kompak Singgung Penerapan K3
Mulyanto tak ingin karena ada pertimbangan politik, pemerintah mengabaikan aspek keamanan dan keselamatan kerja di perusahaan-perusahaan itu.
"Sudah menjadi rahasia umum kalau sebagian besar alat kerja di smelter-smelter milik China diimpor dari China juga. Bahkan, sampai komponen terkecil seperti baut dan mur," kata Mulyanto dalam keterangan tertulis yang diterima Tribunnews, Senin (25/12/2023),
Anggota dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu mengatakan, perlu juga diketahui kualitas barang yang selama ini dipakai untuk menunjang operasional smelter.
"Jangan-jangan barang dan suku cadang yang dipakai tidak memenuhi syarat yang ditentukan," ujarnya.
Mulyanto mengaku sangat prihatin kecelakaan kerja terjadi lagi di smelter perusahaan China.
Kecelakaan yang terjadi pada Minggu (24/12/2023) itu menyebabkan paling sedikit 35 orang korban, di mana sebanyak 13 orang meninggal dunia.
Beberapa waktu sebelumnya juga terjadi kecelakaan kerja di smelter PT GNI yang mengakibatkan 2 orang meninggal dunia.
Situasi Diklaim Sudah Terkendali
Kepala Divisi Media Relations PT IMIP, Dedy Kurniawan mengemukakan, perkembangan pada pukul 16.15 WITA, Minggu (24/12/2023), diketahui situasi di lokasi kejadian sudah terkendali.
Jumlah korban meninggal yang terkonfirmasi sebanyak 13 orang, terdiri atas 9 pekerja Indonesia dan 4 pekerja asal Tiongkok.