“Dalam konteks Indonesia, Rp 8.000 triliun itu kalau menggunakan perkiraan PBB 2023, perkiraannya itu 38 persen. Sangat safe (aman),” urainya.
Prof Bambang menegaskan utang negara Rp 8.000 triliun itu juga harus dilihat asal-muasalnya.
Artinya kalau melihat utang, utang Indonesia mungkin banyak juga yang dalam mata uang asing.
“Secara nominal, pasti tertinggi, kan akumulasi, bertambah terus. Kenapa utang tambah terus? Karena asal-muasalnya penerimaan kita selalu di bawah pengeluaran,” tukasnya.
Dia menyatakan utang negara hanya bisa turun kalau penerimaan surplus sedangkan Indonesia selalu defisit budget.
“Mungkin Anda tanya, kalau defisit kenapa enggak dibikin surplus? Masalahnya, kita itu adalah negara yang masih upper middle atau masih perlu tumbuh,” ucapnya.
“Bagian dari pertumbuhan, boosting (meningkatkan) tadi kan adalah investment (investasi). Investment bisa datang dari sektor privat, dari dalam luar negeri, dan dari pemerintah,” tambah Prof Bambang.
Pemerintah juga sudah punya kewajiban, selain membayar gaji pegawai, memberikan bantuan untuk pendidikan, kesehatan, dan banyak fungsi-fungsi dasar yang harus disediakan.
Sehingga untuk investasi emang mau tidak mau harus ada pinjaman (pemasukan negara) yang mayoritas dari surat utang.
Prof Bambang menegaskan presiden terpilih nantinya pun tidak bisa lepas dari berutang kecuali dia sanggup memperbaiki tax ratio (rasio pajak).
Tax ratio Indonesia itu harus Cuma sekitar 10 persen dan untuk menaikkan tax ratio itu sangat tidak mudah, butuh waktu dan enggak mungkin dengan menaikkan tarif.
Yang mungkin adalah memperluas basis pajak. Itu yang rumit.
“Kalau Cuma naikin pajak ya semua orang juga bisa. Kita mau bersaing sama Singapura, Malaysia salah-salah pada lari semua kalau pajaknya dinaikkan,” pungkasnya.
Utang untuk Pembangunan Produktif