News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Utang Pemerintahan Jokowi Makin Menggunung, Tembus Rp 8.041 Triliun

Penulis: Reynas Abdila
Editor: Choirul Arifin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Utang Pemerintah saat ini didominasi oleh kepemilikan SBN sebesar 89,04 persen dengan nilai Rp 6.934,25 triliun sedangkan pinjaman dengan persentase 10,96 persen senilai Rp 853,26 triliun.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Nilai utang Pemerintah di era kepemimpinan Joko Widodo tercatat terus naik dan nilainya mencapai Rp 8.041 triliun berdasarkan data per November 2023.

Ada kenaikan utang Rp 487 triliun dibanding utang pemerintahan Jokowi di tahun 2022 lalu.

Posisi utang pemerintah di awal tahun 2023 mencapai Rp 7.755 triliun, dengan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 38,56 persen.

Utang pemerintah didominasi Surat Berharga Negara (SBN) yang mencapai 88,9 persen dari seluruh komposisi utang dengan nilai Rp 6.894,36 triliun.

Porsi pinjaman mencapai Rp 860,62 triliun dari total posisi utang, di mana pinjaman luar negeri memiliki porsi lebih banyak yaitu Rp 838,94 triliun.

Bila dibandingkan era Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, utang pemerintah juga cenderung mengalami kenaikan dari tahun ke tahun.

Namun apabila dibandingkan dengan era Jokowi, persentase kenaikannya relatif jauh lebih kecil.

Baca juga: Akhir Oktober 2023, Utang Pemerintah Melonjak Jadi Rp 7.950,52 Triliun

Dikutip dari laman DJPPR Kementerian Keuangan, jumlah utang pemerintah pada 2007 atau periode pertama pemerintahan Presiden SBY tercatat sebesar Rp 1.389,41 triliun.

Pada periode kedua Presiden SBY, jumlah utang pemerintah pusat tercatat sebesar Rp 1.590,66 triliun.

Utang negara era Presiden Jokowi sempat turun di bulan April-Mei dengan posisi utang Rp 62,49 mtm menjadi Rp 7.787,51 triliun, dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 37,85 persen.

Utang Pemerintah Indonesia didominasi oleh kepemilikan SBN sebesar 89,04 persen dengan nilai Rp 6.934,25 triliun sedangkan pinjaman dengan persentase 10,96 persen senilai Rp 853,26 triliun.

Selepas tren penurunan, utang negara kembali meroket hingga September Indonesia berhasil menyerap dana dari lelang Surat Utang Negara (SUN).

Direktur Surat Utang Negara Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Deni Ridwan menyampaikan hasil lelang obligasi atau surat utang negara (SUN) pada Selasa (19/9/2023) yang masuk sebesar Rp28,79 triliun.

Baca juga: Pembiayaan Utang Pemerintah per Oktober Rp 203,6 Triliun, Sri Mulyani: Lebih Kecil dari Tahun Lalu

Menurutnya, investor masih bersikap wait and see atas keputusan kebijakan tingkat suku bunga The Fed pada FOMC meeting minggu ini.

“Lelang SUN hari ini berhasil menarik total incoming bids sebesar Rp28,79 triliun lebih tinggi dari total incoming bids sebesar Rp20,02 triliun pada lelang SUN sebelumnya,” kata Deni dihubungi Tribun Network.

Rilis data ekonomi Tiongkok yang cukup positif dan indikasi kenaikan suku bunga ECB (Bank Sentral Eropa) yang telah mencapai atau mendekati akhir menjadi sentimen positif pada lelang SUN hari ini.

Direktur SUN DJPPR Kemenkeu Deni Ridwan di acara Money Talks On Location 'Amankah Utang Pemerintah Saat Ini?' di Jakarta, Rabu (14/6/2023). (Tribunnews/Ibel)

Sejalan dengan kenaikan total incoming bids, jumlah penawaran yang masuk dari investor asing pada lelang SUN hari ini juga meningkat menjadi Rp2,08 triliun dari Rp1,69 triliun pada lelang SUN sebelumnya.

“Mayoritas minat investor asing tersebut berada pada SUN bertenor menengah panjang yaitu 5 dan 11 tahun dengan jumlah penawaran yang masuk untuk kedua tenor tersebut adalah sebesar Rp1,49 triliun atau 72,77 persen dari total incoming bids investor asing dan dimenangkan sebesar Rp0,59 triliun atau 3,8 persen dari total awarded bids,” papar Deni.

Menjelang pergantian tahun, utang Indonesia tembus Rp 8.041 triliun atau naik Rp 90,48 triliun mtm dengan rasio utang 38,11 persen dari PDB.

Utang pemerintah pada November 2023 masih didominasi oleh SBN yang mencapai 88,61 persen dari seluruh komposisi utang turun menjadi Rp 7.124 triliun.

Porsi pinjaman menjadi Rp 916,03 triliun yang terdiri dari pinjaman dalam negeri dan pinjaman luar negeri.

Utang karena Proyek Bansos

Ketua Dewan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) Prof Bambang Soemantri Brodjonegoro mengatakan utang negara tidak mengenal siapapun presiden Indonesia kelak.

Menurutnya, waktu pandemi Covid-19, Indonesia punya penerimaan di bawah pengeluaran maka opsinya adalah harus berutang.

Faktor utama membengkaknya utang pemerintah itu karena alokasi untuk bantuan sosial yang dikeluarkan pemerintah karena orang-orang tiba-tiba terkena pemutusan hubungan kerja, tidak bisa jualan dan segala macam.

Kedua, persoalan vaksin kemudian penanganan kesehatan ada di rumah sakit, ada rumah sakit Covid-19.

“Jadi defisit yang tadinya biasa-biasa saja, rata-rata 2-2,5 persen (per-tahun), mendadak jadi 6 persen,” kata Prof Bambang kepada Tribun Network.

Negara, lanjut Prof Bambang, terpaksa membuat klausul yang menyatakan bahwa pemerintah boleh meningkatkan defisit dalam rangka penanganan Covid-19.

Poinnya adalah negara berutang selama Covid-19 itu tidak terhindarkan karena setiap pemerintah bertanggung jawab untuk menjaga keselamatan rakyatnya.

“Dalam konteks Indonesia, Rp 8.000 triliun itu kalau menggunakan perkiraan PBB 2023, perkiraannya itu 38 persen. Sangat safe (aman),” urainya.

Prof Bambang menegaskan utang negara Rp 8.000 triliun itu juga harus dilihat asal-muasalnya.

Artinya kalau melihat utang, utang Indonesia mungkin banyak juga yang dalam mata uang asing.

Bambang Sumantri Brodjonegoro (KOMPAS IMAGES)

“Secara nominal, pasti tertinggi, kan akumulasi, bertambah terus. Kenapa utang tambah terus? Karena asal-muasalnya penerimaan kita selalu di bawah pengeluaran,” tukasnya.

Dia menyatakan utang negara hanya bisa turun kalau penerimaan surplus sedangkan Indonesia selalu defisit budget.

“Mungkin Anda tanya, kalau defisit kenapa enggak dibikin surplus? Masalahnya, kita itu adalah negara yang masih upper middle atau masih perlu tumbuh,” ucapnya.

“Bagian dari pertumbuhan, boosting (meningkatkan) tadi kan adalah investment (investasi). Investment bisa datang dari sektor privat, dari dalam luar negeri, dan dari pemerintah,” tambah Prof Bambang.

Pemerintah juga sudah punya kewajiban, selain membayar gaji pegawai, memberikan bantuan untuk pendidikan, kesehatan, dan banyak fungsi-fungsi dasar yang harus disediakan.

Sehingga untuk investasi emang mau tidak mau harus ada pinjaman (pemasukan negara) yang mayoritas dari surat utang.

Prof Bambang menegaskan presiden terpilih nantinya pun tidak bisa lepas dari berutang kecuali dia sanggup memperbaiki tax ratio (rasio pajak).

Tax ratio Indonesia itu harus Cuma sekitar 10 persen dan untuk menaikkan tax ratio itu sangat tidak mudah, butuh waktu dan enggak mungkin dengan menaikkan tarif.

Yang mungkin adalah memperluas basis pajak. Itu yang rumit.

“Kalau Cuma naikin pajak ya semua orang juga bisa. Kita mau bersaing sama Singapura, Malaysia salah-salah pada lari semua kalau pajaknya dinaikkan,” pungkasnya.

Utang untuk Pembangunan Produktif

Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menilai, rasio utang Indonesia sejauh ini masih terbilang cukup aman.

Menurutnya, rasio utang pemerintah saat ini terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 38,11 persen.

Rasio utang tersebut menurun dibandingkan akhir tahun 2022 dan berada di bawah batas aman 60 persen PDB sesuai Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Meski demikian, Eko mewanti-wanti agar pemerintah menggunakan utang tersebut untuk pembangunan yang lebih produktif.

“Tumpuan Indonesia saat ini di indikator makronya, meskipun ini tetap harus jadi early warning, sejauh ini relatif rasio utang msh cukup aman,” ungkapnya.

“Hanya saja harus diupayakan pemanfaatan utang lebih produktif,” tutur Eko.

Dari sisi mikro, Eko juga menghimbau agar pemerintah lebih memperhatikan BUMN-BUMN karya yang bermasalah dalam pengelolaan utangnya.

Misalnya, PT Wijaya Karya (WIKA) menunda pembayaran pokok Sukuk Mudharabah Berkelanjutan I Wijaya Karya Tahap I Tahun 2020 Seri A yang jatuh tempo pada 18 Desember 2023.

Kemudian, Eko menambahkan pemerintah juga perlu memperhatikan PT Waskita Karya Tbk (WSKT).

Lantaran sempat menjadi sorotan karena tidak bisa membayar utang obligasi yang jatuh tempo pada 6 Agustus 2023, senilai Rp 135,5 miliar.

Jumlah itu belum termasuk bunga tetap 10,75 persen per tahun.

“Sebelumnya juga ada masalah kemampuan bayar utang Waskita perlu jadi perhatian pemerintah, agar dalam pembangunan infrastruktur lebih hati-hati,” ungkapnya. (Tribun Network/Reynas Abdila)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini