Dengan kondisi fundamental ekonomi, perbankan, dan perusahaan yang lebih baik dibandingkan dengan periode- periode tightening sebelumnya.
“Kami optimistis bahwa tightening exit Indonesia di tahun 2024-2025 akan lebih baik dan belum sepenuhnya terefleksikan di tingkat valuasi pasar saham saat ini di level 12-13x forward PE,” ucap Joezer.
Menurutnya, tingkat leverage perusahaan yang rendah dan ROIC-WACD spread yang berada di level tertinggi sejak 8-9 tahun terakhir pun akan membantu mempercepat pemulihan pertumbuhan setelah kebijakan tightening berakhir dan juga membantu menopang imbal hasil dividen yang tinggi ke depannya.
Tensi Geopolitik Meningkat
Head of Fixed Income Research Mandiri Sekuritas Handy Yunianto tidak menampik situasi geopolitik saat ini kian bergejolak.
Untuk pasar obligasi di 2024, Handy menyoroti tingginya tingkat suku bunga global.
Akan tetapi pasar obligasi Indonesia terbukti risilien dan masih memberikan return +8.7 persen.
”Di tengah gejolak global yang tinggi dari tahun 2023, kami memperkirakan, kinerja positif ini masih akan berlanjut di tahun 2024-2025,” urainya.
Beberapa katalis positif, imbuh Handy, antara lain pertama, tingkat suku bunga diperkirakan akan turun.
Kedua, oemerintah masih memiliki fleksibilitas pembiayaan fiskal yang longgar, seiring dengan masih relatif tinggi SAL (Saldo Anggaran Lebih), dan ketiga secara valuasi, yield obligasi masih menarik.
“Dengan proyeksi yield 10 tahun SBN berpotensi turun ke 5,9 persen atau kisaran di 5,8-6,0 persen kami perkirakan return investasi di pasar obligasi tahun 2024 akan memberikan imbal hasil sekitar +9,8 persen,” pungkasnya. (Tribun Network/Reynas Abdila)