Laporan Wartawan Tribunnews, Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – IBM merilis sebuah kajian baru tentang tren adopsi kecerdasan buatan (AI) di sektor jasa keuangan dan sektor manufaktur Indonesia yang hasilnya dipublikasikan hari ini di Jakarta, Rabu, 6 Maret 2024.
Riset mendapati temuan bahwa sebagian besar responden korporat lokal (sebanyak 62 persen) telah berinvestasi dalam pembuatan program pilot AI di perusahaan mereka.
Studi bertajuk "Generative AI: Mempersiapkan Masa Depan Ekosistem Bisnis di Indonesia dengan AI Yang Beretika" ini juga mendapati temuan 23 persen perusahaan yang disurvei sedang berinvestasi di AI.
Mereka juga telah mengadopsi kemampuan AI untuk berinteraksi dengan fungsi bisnis perusahaan.
Baca juga: Apple Batal Rilis Mobil Listrik, Rela Boncos Miliaran Dolar demi Kembangan Teknologi AI
Implementasi AI di Indonesia menghadapi sejumlah tantangan utama. Diantaranya, kesenjangan keterampilan digital (48 persen), kurangnya tata kelola data internal (40 persen), dan kurangnya visibilitas pada hasil bisnis (12 persen).
Menurut hasil studi ini, hal ini telah menghambat perusahaan yang disurvei untuk maju ke tahap berikutnya.
Prof. Hammam Riza, Presiden KORIKA mengatakan, AI memiliki potensi besar untuk memajukan ekonomi digital Indonesia. "Saya yakin teknologi AI akan sangat berpengaruh dalam mendorong pertumbuhan substansial,” ungkapnya.
Dia menegaskan, individu yang bisa menggunakan AI dengan baik akan unggul dibandingkan mereka yang tidak mau belajar dan karena itu mengintegrasikan AI untuk meningkatkan kinerja dan kesuksesan sangat penting.
Roy Kosasih, Presiden Direktur, IBM Indonesia mengatakan, AI Generatif akan membawa banyak dampak pada bisnis, mulai dari cara pengambilan keputusan, pengalaman nasabah, hingga pertumbuhan pendapatan.
"Tetapi, fokusnya tetap pada keahlian sumber daya manusia untuk penggunaan AI yang baik," kata dia.
Roy mengatakan, AI akan mengubah pentas bisnis dunia dan Indonesia perlu mengadopsi kemampuan adopsi AI ini untuk meningkatkan produktiitas, efisiensi dan kesempatan menavigasi disrupsi teknologi ke depan.
"Generative AI justru akan memperkuat kemampuan manusia. Generative AI tidak akan menggantikan manusia tapi menggantikan manusia yang tidak menggunakan AI," sebutnya.
Dia menekankan, tata kelola AI penting termasuk aspek governance-nya untuk memastikan tanggung jawab ketika suatu institusi menggunakan Ai generatif dan menghilangkan keraguan.ketidakpercayaan ketika AI generatif digunakan.
Menurutnya, pendekatan interdisipliner, yaitu sebuah model yang menunjukkan hubungan timbal balik antara masyarakat, pengguna, dan pengembangan AI, akan memberikan hal yang positif melalui kemitraan manusia-AI.
Prof. Dr. Ir. Hammam Riza, M.Sc., IPU. perekayasa ahli utama di Pusat Riset Kecerdasan Artifisial dan Keamanan Siber di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengatakan, saat ini sudah begitu banyak adopsi Generative AI yang sangat cepat oleh sektor industri.
"Sekarang memang waktunya bagi sektor industri untuk berinvestasi di generative AI," kata Prof Hammam.
"Kita ingin pengembangan AI generatif tetap bisa dikendalikan oleh manusia. Karena itu AI governance seperti surat edaran Kominfo diperlukan seperti AI governance yang dilakukan di luar negeri," lanjutnya.
Dia mengatakan, di kawasan ASEAN, negara-negara ASEAN sudah menerbitkan ASEAN AI Guide untuk memberikan panduan AI governance di negara-negara anggotanya.
Terkait tantangan yang dihadapi dalam adopsi AI, hampir setengah dari bisnis Indonesia yang disurvei (47 persen) mengalami kesulitan menangani kesenjangan keterampilan digital, terutama dalam hal pengelolaan tim, memanfaatkan keahlian khusus, dan mendorong komunikasi yang dibutuhkan.
Kurangnya tata kelola data internal (40 persen) sering kali dapat menyebabkan terlewatnya target dan objektif karena data tersebar di berbagai sistem seperti penggunaan beberapa sistem ERP, sistem manajemen gudang, dll.
Surat Edaran Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) No. 9 tahun 2023 tentang Pedoman Etika AI dinilai jadi tonggak sejarah penting bagi Indonesia, yang menguraikan prinsip-prinsip etika untuk perilaku bisnis AI.
Termasuk di dalamnya, tiga kebijakan tentang nilai etika, pelaksanaan etis, dan penggunaan yang bertanggung jawab dalam pengembangan AI.
Roy Kosasih menekankan, tujuan AI adalah untuk meningkatkan kecerdasan manusia dan bahwa pemanfaatan era AI harus menyentuh banyak orang, bukan hanya beberapa kalangan saja.
"Data dan wawasan harus menjadi milik penciptanya, serta teknologinya harus transparan dan dapat dijelaskan, dengan pemahaman yang jelas tentang siapa yang melatih sistem AI, data apa yang digunakan, dan yang paling penting, apa yang dipakai untuk membuat rekomendasi algoritma mereka,” ujarnya.
Pada tata kelola AI, serangkaian pembatas bisa memastikan teknologi dan sistem AI aman dan etis.
"Kerangka kerja, aturan, dan standar yang mengarahkan penelitian, pengembangan, dan penerapan AI akan memastikan keselamatan, keadilan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia," tegasnya.
Riset tentang adopsi AI ini dilakukan oleh Advisia Group, mewakili IBM, bekerja sama dengan Kolaborasi Riset dan Inovasi Industri Kecerdasan Artifisial (KORIKA).