TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dua menteri Presiden Joko Widodo (Jokowi) menginginkan implemntasi pemotongan gaji untuk Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) tidak dijalankan selama menunai banyak penolakan dari masyarakat.
Kedua menteri tersebut yaitu Menteri PUPR Basuki Hadimuljono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Usai rapat kerja bersama Komisi V DPR, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (6/6/2024), Basuki menyebut implementasi Tapera tidak perlu dilakukan secara buru-buru meski ada peraturan menyampaikan pelaksaan paling lambat 2027.
Adapun potongan gaji untuk Tapera tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat.
Baca juga: Iuran Tapera Tuai Polemik, Pemerintah Diminta Perhatikan Nasib Masyarakat Berpenghasilan Rendah
Dalam PP Nomor 21 Tahun 2024 Pasal 15 ayat 1 dijelaskan besaran simpanan yang diputuskan pemerintah adalah 3 persen dari gaji atau upah untuk peserta pekerja dan penghasilan untuk peserta pekerja mandiri.
Sedangkan pada Ayat 2 Pasal 15, mengatur tentang besaran simpanan peserta pekerja yang ditanggung bersama oleh pemberi kerja sebesar 0,5 peren dan pekerja sebesar 2,5 persen.
Berikut pernyataan Basuki Hadimuljono yang menyampaikan dirinya dan Sri Mulyani sepakat Tapera ditunda:
Tapera sebetulnya itu sudah dari 2016 Undang-undangnya, kemudian kami dengan Ibu Menteri Keuangan (Sri Mulyani) agar dipupuk dulu kredibilitasnya. Ini masalah trust (kepercayaan), sehingga kita undur ini sudah sampai 2027.
Menurut saya pribadi, kalau emang ini belum siap, kenapa kita harus tergesa-gesa. Harus diketahui APBN sampai sekarang ini Rp105 triliun dikucurkan untuk FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan) untuk subsidi selisih bunga.
Sedangkan untuk Tapera ini, mungkin dalam 10 tahun bisa terkumpul Rp50 triliun. Jadi effort dengan kemarahan ini (penolakan Tapera), saya nyesel betul. Saya tidak legowo lah. Jadi apa sudah kami lakukan dengan 10 tahun FLPP, subsidi bunga itu sudah Rp105 triliun.
Jadi kalau ada misalnya usulan, apalagi DPR misalnya (minta ditunda), ketua MPR untuk diundur. Menurut saya, saya sudah kontek Ibu Menteri Keuangan, kita akan ikut (sepakat menunda).
Saya kira iya (menunggu kesiapan masayarakat). Kenapa kita harus saling berbenturan, enggak-enggak, insyaAllah.
Kalau yang punya rumah, sebagai penabung dan bunganya lebih besar dari deposito kalau dia mau ambil. Undangf-undangnya menyampaikan wajib (ikut Tapera). Ini sosialisasinya kami juga lemah dan belum kuat.
Jokowi Anggap Biasa Pro-kontra
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan peraturan terkait Tapera sudah berdasarkan hasil kajian dan kalkulasi.
"Iya semua dihitung lah, biasa, dalam kebijakan yang baru itu pasti masyarakat juga ikut berhitung, mampu atau enggak mampu, berat atau engga berat," kata Jokowi usai menghadiri Inaugurasi pengurus GP Ansor di Istora Senayan, Jakarta, Senin, (27/5/2024).
Menurut Jokowi hal yang biasa apabila ada pro dan kontra pada setiap kebijakan yang baru diterbitkan pemerintah.
Presiden mencontohkan kebijakan mengenai penerapan sistem jaminan kesehatan BPJS. Pada awal kebijakan tersebut diterapan juga menuai pro dan kontra.
"Seperti dulu BPJS, diluar yang BPI yang gratis 96 juta kan juga rame tapi setelah berjalan saya kira merasakan manfaatnya bahwa rumah sakit tidak dipungut biaya," katanya.
Kebijakan kebijakan seperti itu kata Jokowi baru akan dirasakan setelah berjalan. Namun di awal sebelum berjalan maka akan selalu ada pro dan kontra.
"Hal seperti itu yang akan dirasakan setelah berjalan. Kalau belum biasanya pro dan kontra," pungkasnya.
Prabowo Pelajari Tapera
Menteri Pertahanan yang juga merupakan Presiden terpilih Prabowo Subianto tidak berkomentar banyak terkait program Tapera yang menuai kontroversi.
Prabowo mengatakan akan mempelajarinya dahulu untuk kemudian mencari solusi yang terbaik.
"Kita akan pelajari dan kita cari solusi yang terbaik," kata Prabowo usai bertemu Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis, (6/6/2024).
Jangan Memaksa
Serikat Buruh menilai iuran Tapera seharusnya tidak memaksa kelompok pekerja. Mereka mempertanyakan negara yang dinilai tengah mengalami defisit.
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia Mirah Sumirat mengatakan, pemerintah seharusnya tidak memaksakan kehendak kepada pekerja.
"Narik duit rakyat atas nama tabungan rakyat kok dipaksa? Itu namanya otoriter. Dugaan saya semakin kuat bahwa negara sedang defisit," ujar Mirah saat dihubungi Tribunnews, Kamis (30/5/2024).
Mirah menyayangkan, kebijakan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 21/2024 tentang perubahan atas PP No. 25/2020 tentang Penyelengaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) telah ditetapkan Presiden Joko Widodo pada 20 Mei 2024.
Kebijakan Ini mewajibkan pekerja untuk membayarkan iuran perumahan rakyat dengan besaran 2,5 persen dari upah dan 0,5 persen dibayarkan oleh pemberi kerja. Iuran Tapera akan efektif berlaku paling lambat 7 tahun setelah penetapannya atau pada tahun 2027.
"Buruh sudah banyak dibebankan oleh kesulitan ekonomi dengan naiknya harga bahan-bahan pokok, upah rendah, dan ancaman badai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)," tuturnya.
Mirah berujar, situasi kondisi pekerja buruh saat ini sudah luar biasa sulit untuk menjalankan kehidupan dia, upahnya murah sudah berlangsung sejak Undang-undang Omnibuslaw Cipta Kerja tahun 2021.
Sedangkan, ucap Mirah, kebijakan Tapera akan sangat merugikan para pekerja, dia menduga bahwa pembentukan Badan yang menangani Tapera hanya merupakan alat bagi pemerintah untuk membagi-bagikan kekuasaan.
Baca juga: 5 Fakta Seputar Aksi Demonstrasi Buruh Geruduk Istana Tolak Tapera, Dimana Jokowi?
"Pasti ada susunan komisaris, direktur, dan saya menduga kuat itu hanya untuk bagi-bagi kekuasaan bagi kelompok-kelompok kekuasaan untuk duduk di sana," kata Mirah.
Mirah menuturkan, seharusnya pemerintah melibatkan peran aktif pekerja dalam proses perumusannya. Jika pun ingin membuat kebijakan, seharusnya yang bersifat subsidi kepada pekerja sebagaimana yang diamanatkan dalam undang-undang dasar.
"Bukan dari gaji yang dipotong. Belum lagi nanti klaimnya gimana, jadi harusnya dikaji ulang yang lebih mendalam," tambah Mirah.
Tidak Menjadi Tak Dikorupsi
Presiden Partai Buruh Said Iqbal menyebut tak ada yang bisa menjamin bahwa Tapera sebesar 3 persen dari potongan gaji pekerja tidak akan dikorupsi.
Hal itu Iqbal ungkapkan di sela-sela aksi unjuk rasa penolakan kebijakan Tapera yang digelar elemen buruh di kawasan Patung Kuda, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (6/6/2024).
Said Iqbal menjelaskan pasalnya terdapat beberapa contoh uang masyarakat yang selama ini dikelola pemerintah justru jadi ladang korupsi sejumlah pihak.
"Asabri dikorupsi besar-besaran, Taspen dikorupsi besar-besaran, itu dikelola oleh pemerintah oleh menteri yang bertanggung jawab, buktinya dikorupsi," ucap Said Iqbal.
Alhasil Said Iqbal pun menyebut bahwa masyarakat sipil khususnya buruh menegaskan tak akan rela iuran yang dipungut dari gaji pekerja itu nantinya justru dikorupsi oleh sejumlah pihak.
Pasalnya kata dia saat ini tidak ada yang bisa menjamin uang-uang itu tidak akan dikorupsi.
"Kami masyarakat sipil khususnya buruh tidak rela uang ini dikorupsi, tidak ada jaminan uang ini dikorupsi. Kami minta sekali lagi kami berkeyakinan Presiden Jokowi akan membatalkan PP Nomor 21 tahun 2024 tentang Tapera," pungkasnya.