News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Badai PHK

Indonesia Harus Bersiap Hadapi Badai PHK, Pengusaha Akan Kurangi Jumlah Pekerja Lagi, Ini Sebabnya

Editor: Seno Tri Sulistiyono
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi. Tercatat, sejak Januari 2024 sampai awal Juni 2024 total pekerja di industri tekstil jadi korban PHK sekitar 13.800 orang.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Badai pemutusan hubungan kerja (PHK) masih akan berlanjut di berbagai bidang industri, terutama di sektor tekstil.

Tercatat, sejak Januari 2024 sampai awal Juni 2024 total pekerja di industri tekstiljadi korban PHK sekitar 13.800 orang.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani menyebut, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, hingga telah mencapai di kisaran Rp16.400-an sangat menekan dunia usaha di dalam negeri.

"Depresiasi rupiah secara umum melemahkan produktivitas dan daya saing industri. Ini karena efek depresiasi rupiah terhadap berbagai industri relatif sama, yakni meningkatkan beban produksi existing," ujar Shinta saat dihubungi Tribunnews, Selasa (18/6/2024).

Baca juga: Bos Smesco Khawatir PHK Karyawan Tokopedia Berdampak ke UMKM

Menurutnya, perusahaan-perusahaan yang memiliki kemampuan finansial yang terbatas atau memiliki market yang “vulnerable” atau dalam arti market share akan berkurang signifikan atau hilang sepenuhnya karena kompetisi pasar bila harga barang yg diproduksi meningkat) akan memiliki resiko PHK, pengurangan kapasitas produksi hingga penutupan usaha.

"Jadi pengurangan pekerja karena depresiasi rupiah sangat terbuka. Meskipun demikian, kami tidak memproyeksikan PHK akan dilakukan secara masif pada saat yg bersamaan dalam waktu dekat, kemungkinan PHK justru akan terjadi secara bertahap seiring dengan pelemahan kinerja usaha yg disebabkan oleh depresiasi rupiah," ucap Shinta.

Ia menyebut, industri yang akan paling rentan mengalami PHK tentu adalah industri yang memang sudah berusaha untuk bertahan di pasar, khususnya industri-industri padat karya berorientasi ekspor.

"Di satu sisi, mereka tidak memiliki demand pasar yang kuat karena pelemahan pertumbuhan ekonomi global," terang Shinta.

Padahal beban biaya operasional atau opex terus meningkat seiring dengan kenaikan upah, suku bunga dan beban-beban opex lainnya.

Depresiasi rupiah, kata Shinta, semakin menambah beban-beban opex ini dan berimbas pada penurunan daya saing industri tersebut di pasar ekspor.

"Untuk industri lain, yang juga vulnerable terdampak negatif produktivitasnya adalah industri-industri manufaktur yang memiliki proporsi impor bahan baku atau penolong yangg tinggi seperti industri mamin, industri automotif, industri produk elektronik, dan lain-lain," ujar Shinta.

Shinta berujar, probabilitas terjadinya PHK di industri-industri tersebut jauh lebih kecil dibandingkan industri padat karya berorientasi ekspor karena basis pasar industri-industri ini umumnya adalah pasar domestik yang relatif stabil pertumbuhannya.

"Meskipun bila depresiasi rupiah terus berlanjut dan berimbas pada inflasi kebutuhan pokok masyarakat, ya tentu akan ikut turun juga potensi pasarnya dan membuat industri-industri manufaktur nasional yang berorientasi pasar domestik juga ikut tertekan kapabilitasnya untuk mempertahankan tenaga kerja existing," tuturnya.

Sebelumnya, berdasarkan data Bloomberg, nilai tukar rupiah ditutup di level Rp16.412 per dolar AS. Mata uang Indonesia melemah 142 poin atau minus 0,87 persen dari penutupan perdagangan sebelumnya.

Halaman
123
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini