News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Buruh: Industri TPT Lebih Banyak Serap Tenaga Kerja Ketimbang Industri Elektronika dan Microchip

Penulis: Bambang Ismoyo
Editor: Sanusi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

ilustrasi. pameran industri tekstil

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek Indonesia) merespons soal rencana Pemerintah untuk menjadikan industri Elektronika dan Microchip, sebagai industri padat karya.

Wacana ini muncul di tengah kinerja industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) yang mengalami penurunan, hingga terjadinya banyak Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di sektor tersebut.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut pemerintah telah memiliki peta jalan membangun industri di dalam negeri, mulai dari padat karya seperti elektronik dan sektor manufaktur lainnya.

Baca juga: Pengembangan Industri Elektronik dan Produksi Microchip Jangan Korbankan Industri TPT

Presiden DPP Aspek Indonesia Mirah Sumirat menilai, industri TPT disebut lebih banyak tenaga kerja, daripada industri elektronika dan microchip.

Mirah menjelaskan, saat ini mayoritas tenaga kerja di Indonesia merupakan lulusan dari pendidikan yang tergolong rendah. Yakni lulusan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Adapun tenaga kerja lulusan pendidikan rendah dapat bekerja di ekosistem industri TPT. Lain halnya dengan industri elektronika dan microchip yang notabene memerlukan kualifikasi pendidikan tinggi, seperti lulusan sarjana.

"Terkait pernyataan Menko Perekonomian Airlangga, saya kira sektor microchip ini tidak padat karya, hanya padat knowledge, jadi hanya membutuhkan orang sarjana contohnya," ungkap Mirah Sumirat kepada Tribunnews, Sabtu (22/6/2024).

"Padahal faktanya tenaga kerja kita 60 lebih persen itu lulusan SD-SMP, dan sarjana hanya 10 persen," sambungnya.

Dengan demikian, menurut Mirah dapat disimpulkan bahwa industri TPT jauh lebih banyak menyerap tenaga kerja di Indonesia.

Namun, dirinya juga mendorong agar Pemerintah dapat mendongkrak kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) di Indonesia.

Agar tenaga kerja di Tanah Air memiliki kualifikasi yang terus berkembang dari waktu ke waktu.

"Jadi artinya itu sama aja tidak merekrut atau tidak menyerap tenaga kerja kita nanti seperti yang digadang-gadang Menko Airlangga. Ini saya kira statemen dan regulasi yang dikeluarkan pejabat harus pro buruh dan pekerja," ungkap Mirah.

"Harusnya pemerintah juga bagaimana terus memperbanyak meningkatkan kualitas pendidikan kita untuk bisa memenuhi kebutuhan yang diinginkan yakni seperti tadi," pungkasnya.

Sebelumnya, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah sudah memiliki peta jalan membangun industri di dalam negeri, mulai dari padat karya seperti tekstil, hingga elektronik dan sektor manufaktur lainnya. Dia juga menyadari industri padat karya seperti tekstil di Indonesia juga mulai berguguran.

"Pembuatan chip dan lain-lain itu juga bisa menjadi padat karya, tapi padat karya yang padat knowledge. Yang mikroelektronik dan micro chip, dan itu hanya merekrut sarjana," kata Airlangga di kantornya, Kamis (20/6/2024).

Baca juga: Pemerintah Bakal Kembangkan Industri Microchip, Ini Pesan Pengusaha Tekstil

Tidak Mudah Menggeser Industri TPT

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Danang Girindra Wardana mengatakan, tidak mudah industri Elektronika-Microchip dapat menggeser keberadaan industri TPT yang sejauh ini telah memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian nasional.

Setidaknya, menurut Danang, terdapat sejumlah alasan mengapa industri TPT masih sulit tergeser oleh industri Elektronik-Microchip.

Pertama, industri TPT dan garmen merupakan sektor industri padat karya. Yakni sektor yang menyerap jumlah tenaga kerja dalam jumlah besar. Bayangkan apabila sektor industri tersebut diabaikan, maka terdapat jutaan orang yang terdampak dalam hal ini para buruh.

Danang sendiri mengapresiasi langkah pemerintah yang berupaya untuk membangkitkan industri dan mendorong investasi pada sektor Elektronik-Microchip. Namun, pemerintah bukan justru mengorbankan industri TPT.

Baca juga: Pabrik Tekstil Berguguran, Pemerintah Diminta Tinjau Ulang Aturan Izin Impor

"Kami apresiasi Pak Airlangga (Menko Perekonomian) memiliki cita-cita tinggi untuk mendatangkan investasi teknologi tinggi ke Indonesia, tapi tidak boleh cita- cita tinggi itu dilakukan sambil mengorbankan industri yang sudah eksisting di Indonesia," ungkap Danang kepada Tribunnews, Sabtu (22/6/2024).

"Industri (TPT) padat karya itu tidak boleh sampai ditinggalkan. Coba kalau pemerintah meninggalkan industri padat karya, itu bisa sekitar 1,5 sampai 3 juta masyarakat kita menjadi korban dari sisi buruh ya. Di keseluruhan yang terkait dengan industri tekstil dan garmen," sambungnya.

Danang kembali mendukung langkah pemerintah yang hendak memajukan sektor Elektronik-Microchip. Namun dirinya mengingatkan, untuk membangun sektor industri tersebut memerlukan upaya yang ekstra.

Adapun, agar ekosistem industri Elektronik-Microchip kuat, diperlukan kesiapan dari berbagai aspek. Mulai dari infrastruktur, Sumber Daya Manusia, rantai pasok, teknologi, hingga anggaran yang cukup dalam hal ini investasi.

"Untuk mewujudkan misi industri elektronika dan chip itu butuh waktu bertahun-tahun mempersiapkan infrastruktur. Infrastruktur SDM, market, infrastruktur supply chain Ini kan butuh waktu untuk itu, dan karena ini investasi yang padat teknologi," ungkap Danang.

Industri TPT Kalah Saing karena Regulasi Pemerintah

Danang juga mengungkapkan, lesunya kinerja industri TPT di Tanah Air bukan semata disebabkan turunnya permintaan dari pasar dan pabrik-pabrik yang kalah saing.

Danang justru menyoroti bahwa turunnya kinerja industri TPT juga disebabkan karena adanya kebijakan Pemerintah yang kurang bersahabat.

Terbaru, yakni adanya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Perdagangan No. 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor.

Beberapa pihak menuding aturan tersebut menjadi biang kerok lesunya penjualan produk buatan dalam negeri, serta berdampak pada banyaknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di industri tekstil nasional.

"(Lesunya industri TPT) bukan karena pabriknya tidak mampu bersaing sehingga mereka tutup, tidak. Tapi karena ada salah kebijakan dari pemerintah sehingga mereka tidak mampu bersaing dan tutup," ujar Danang.

"Sehingga pemerintah mesti melakukan policy atau pembuatan regulasi atau visi kebijakan itu secara paralel, baik di industri teknologi tinggi dan industri padat karya. Bisa berjalan paralel kok, tanpa harus mendikotomikan antara industri teknologi tinggi dengan industri padat karya," pungkasnya.

Padat Karya

Industri TPT merupakan sektor yang perlu dikembangkan bersama dengan industri elektronika dan industri pembuatan microchip.

Juru Bicara Kementerian Perindustrian Febri Hendri Antoni Arief mengatakan, tiga sektor tersebut perlu dikembangkan untuk dapat mendukung industri manufaktur nasional.

Ketiga industri tersebut memiliki kontribusi besar terhadap perekonomian Indonesia, terutama industri TPT yang mampu menyerap tenaga kerja yang tinggi. Oleh karena itu, majunya salah satu sektor industri tersebut tidak boleh mengorbankan industri yang lainnya.

"Jangan sampai industri TPT disubstitusi dengan industri elektronik dan industri pembuatan microchips karena industri tersebut sama-sama penting. Jadi, salah satu jangan ada yang dikorbankan," katanya, Jumat (23/6/2024).

Industri TPT merupakan sektor padat karya dengan menyerap tenaga kerja lebih dari 3,98 juta tenaga atau memberikan kontribusi sebesar 19,47 persen terhadap total tenaga kerja di sektor manufaktur pada tahun 2023. Pada triwulan I tahun 2024, industri TPT berkontribusi sebesar 5,84 persen terhadap PDB sektor manufaktur serta memberikan andil terhadap ekspor nasional sebesar 11,6 miliar dolar AS dengan surplus mencapai 3,2 miliar dolar AS.

Dampak dari pengendalian impor tersebut terlihat dari turunnya volume impor dibandingkan sebelum pemberlakuan Permendag 36/2023. Impor pakaian jadi yang pada Januari dan Februari 2024 berturut turut sebesar 3,53 ribu ton dan 3,69 ribu ton, turun menjadi 2,20 ribu ton pada bulan Maret 2024 dan 2,67 ribu ton di pada bulan April 2024.

Sementara itu, impor tekstil juga mengalami penurunan, dari semula 193,4 ribu ton dan 153,2 ribu ton pada Januari dan Februari 2024, menjadi 138,2 ribu ton dan 109,1 ribu ton pada Maret dan April 2024. Demikian juga jika membandingkan data impor secara year on year (YoY), terjadi penurunan impor pakaian jadi yang sebelumnya sebesar 4,25 ribu ton pada Maret 2023 menjadi 2,2 ribu ton pada Maret 2024.

Efektivitas pemberlakuan Permendag 36/2023 tersebut juga terlihat dari PDB Industri Tekstil dan Pakaian Jadi yang sepanjang tahun 2023 tumbuh negatif (triwulan I hingga IV 2023 tumbuh negatif), telah tumbuh positif sebesar 2,64 persen (YoY) di triwulan I 2024. Pertumbuhan tersebut juga sejalan dengan Indeks Kepercayaan Industri (IKI) pada industri tekstil dan industri pakaian jadi yang terus mengalami peningkatan.

Khusus untuk industri tekstil, pada April dan Mei 2024 terjadi peningkatan hingga mencapai posisi ekspansi dua bulan berturut-turut pertama kali sejak IKI dirilis pada November 2022. IKI merupakan indikator yang menunjukkan optimisme para pelaku industri terhadap kondisi bisnis dalam enam bulan ke depan. Namun begitu, kondisi di lapangan saat ini telah berbeda, dengan adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di beberapa perusahaan industri TPT.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini