Ia mencontohkan, harga pupuk mahal dan tarif listrik tidak turun, padahal kedua sektor yang termasuk mendapat manfaat dari HGBT.
"Padahal harga gas sudah murah, tapi tarif listrik tidak pernah turun. Begitu juga pupuk langka dan mahal bagi petani," imbuhnya.
Dampak pelemahan rupiah terhadap dolar AS
Lebih lanjut Eddy Asmanto mengatakan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS semakin memberatkan pelaku industri gas bumi.
Dia pun menyinggung sikap pemerintah yang terkesan standar gandar sehingga pelaku industri gas bumi mengalami kerugian.
Menurut Eddy, melemahnya nilai tukar rupiah sangat mempengaruhi industri gas bumi.
Ia menyebutkan, meski ada peraturan Bank Indonesia (BI) yang mewajibkan semua transaksi di dalam negeri harus menggunakan rupiah, namun khusus untuk gas, pembelian dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S) tetap menggunakan dolar AS, sementara penjualan ke konsumen harus dilakukan dengan rupiah.
"Khusus untuk gas kita membeli gas dari K3S tetap menggunakan mata uang dolar AS. Tapi kita harus menjual kepada konsumen dengan rupiah," jelas Eddy.
Menurut Eddy, pembelian dari K3S dengan menggunakan dolar AS, namun pembayaran dari konsumen dilakukan dalam rupiah menyebabkan kerugian akibat fluktuasi nilai tukar rupiah.
Dia pun mencontohkan, ketika pihaknya membeli dari K3S di saat nilai tukar rupiah berada di level Rp16.000 per dolar dan begitu akan menjual ke konsumen nilai tukarnya menjadi Rp15.000, maka pihaknya mengalami kerugian.
"Sehingga ketika nilai tukar rupiah berfluktuasi, kita selalu mendapatkan kerugian dari selisih dalam kurs. Jadi ya itu (nilai tukar rupiah) sangat berpengaruh," ucapnya.
Edy menilai pemerintah terkesan memiliki sikap standar ganda terkait transaksi dalam industri gas bumi.
"Ada selisih kurs, kita beli menggunakan dolar AS, tapi jual harus dengan rupiah. Menurut kami ini kan standar ganda," ujarnya.