News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

PP Kesehatan Larang Penjualan Rokok, APRINDO: Harus Pisahkan Kesehatan, Pertimbangkan Dampak Ekonomi

Editor: Arif Tio Buqi Abdulah
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ketua Umum Aprindo Roy Nicholas Mandey. - Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) Roy N. Mandey menyayangkan, PP Kesehatan yang belum lama ini disahkan pemerintah justru mematikan kegiatan ekonomi masyarakat.

TRIBUNNEWS.COM - Polemik pengesahan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan masih terus terjadi.

Meski sudah disahkan, namun protes dari berbagai pihak masih disuarakan, seperti terkait pengaturan penjualan produk tembakau. 

PP Kesehatan yang disusun berlandaskan pendekatan omnibus ini ditentang karena mencampuradukkan sektor kesehatan dan ekonomi.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) Roy N. Mandey menyayangkan, PP Kesehatan yang seharusnya mereformasi dan membangun sistem dan layanan kesehatan sampai ke pelosok negeri, justru mematikan kegiatan ekonomi masyarakat.

Seperti yang tercantum dalam pasal 434 ayat (1) huruf c yang mencantumkan larangan menjual produk tembakau secara eceran satuan per batang.

Baca juga: Anggota Komisi VI DPR Kritik Larangan Jual Rokok Ketengan: Tak Berpihak ke Wong Cilik

Selain itu, pasal 434 ayat (1) huruf e menambahkan pengaturan bahwa setiap orang dilarang menjual produk tembakau dan rokok elektronik dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak.

"Kesehatan dan ekonomi adalah dua hal yang berbeda. Ekonomi berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat, upaya masyarakat mencari nafkah bagi keluarga dan anak-anaknya, termasuk pedagang dan pelaku usaha."

"Jadi tidak bisa, seolah-olah dalam kebijakan, kesehatan harus menang, ekonomi kalah, atau sebaiknya. Harus balance. Artinya, sebagai bagian turunan dari UU Kesehatan, ya  seharusnya PP ini fokus lah mengatur kesehatan. Bukan mengatur sampai bagaimana harus berjualan, berdagang," kata Roy, Rabu (31/7/2024).

Roy juga memproyeksikan bahwa implementasi PP Kesehatan terutama terkait zonasi pelarangan penjualan sejauh 200m.

"Bagaimana pelaksanaannya? Bagaimana mengukurnya, mau pakai meteran? Apakah Satpol PP-nya turun ke lapangan, ngukur pakai meteran? Begitu juga dengan defenisi tempat pendidikan yang sangat luas, apakah termasuk tempat kursus balet, kursus/bimbingan belajar, narasinya tidak spesifik. Maka, pasal-pasal Pengamanan Zat Adiktif dalam PP Kesehatan ini akan multitafsir dan dapat menjadi pasal karet, karena tidak mudah dilaksanakan," paparnya.

Menurut Roy, sejak 12 tahun lalu, sektor pertembakauan sudah sepakat dan disiplin menjalani implementasi aturan mengenai pengamanan zat adiktif yang tercantum dalam  PP No 109 Tahun 2012, Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Baginya yang menjadi urgensi saat ini adalah penertiban rokok ilegal.

"Kenapa pemerintah tidak fokus membasmi rokok ilegal yang sedang marak saat ini?  Kenapa yang membayar cukai, yang berkontribusi bagi penerimaan negara, bagi pembangunan, bagi investasi tidak dilindungi?  Dampak regulasi ini sampai ke hulu, ke petani tembakau. Pemerintah tidak memikirkan mitigasinya," ujarnya.

Baca juga: PP No 28 Tahun 2024 Soal Kesehatan Dikritik, Dinilai Bisa Hancurkan Industri Tembakau Lokal

APRINDO berharap pemerintah tidak mematikan ekonomi masyarakat dengan disahkannya PP Kesehatan ini.

"Kami sudah menaati, mulai dari pembatasan iklan, kami juga patuh menjual rokok untuk usia dewasa. Lah, kenapa sekarang ditambah pasal karet ini, yang ujungnya juga tidak dapat menjamin hilangnya rokok ilegal? Sejak awal kami tidak pernah dilibatkan, tidak diajak bicara dan tidak tahu menahu soal sosialisasi peraturan ini" tutupnya. (*)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini