Laporan Wartawan Tribunnews.com, Lita Febriani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Survei yang dilakukan GBG dan Chartis Risk mendapati temuan bahwa Indonesia menduduki peringkat teratas dalam kasus aktivitas money mule atau fraud transfer (penipuan transfer) dan pencurian identitas, yaitu sebesar 67 persen.
Penelitian GBG dan Chartis Risk menggarisbawahi bahwa kasus fraud terus bertransformasi dan berkembang.
Indonesia telah menjadi target utama, karena pasar produk digitalnya yang berkembang dan tingkat inklusi keuangan tinggi, yang diperkirakan akan mencapai 90 persen pada tahun 2024.
Para pelaku fraud akan semakin banyak menargetkan pengguna yang lebih rentan menjadi korban dibandingkan lembaga keuangan.
Pergeseran ini telah menyebabkan peningkatan kasus-kasus yang melibatkan money mule atau kasus penipuan transfer uang dan pencurian identitas.
Director of Unit Kejahatan Forensik & Keuangan PwC dan Direktur ACFE Indonesia Budi Santoso, menekankan pemberantasan kasus fraud memerlukan upaya terkoordinasi antara penyedia teknologi regulasi seperti GBG, lembaga keuangan, regulator dan penegak hukum.
"Pendidikan dan investasi berkelanjutan dalam teknologi canggih, seperti AI dan pembelajaran mesin, sangat penting untuk mengakali berbagai teknik kasus fraud yang canggih. Beragam dan tingginya jumlah kasus kasus fraud di Indonesia berasal dari transformasi digital yang tengah berlangsung, akses yang lebih mudah terhadap layanan keuangan dan meningkatnya penargetan pengguna oleh para pelaku fraud," ungkap Budi dalam rilis, Selasa (6/8/2024).
Head of Digital Strategy di Allo Bank Destya D. Pradityodan, menjelaskan pencegahan kasus fraud yang efektif dimulai dengan tindakan tegas selama proses registrasi dan orientasi, diikuti dengan investigasi dan validasi yang berkelanjutan.
Baca juga: Dugaan Fraud di Balik Batalnya Akuisisi Bank Muamalat oleh BTN
"Perlu adaptasi berkelanjutan terhadap teknik kasus fraud yang terus berkembang dan pentingnya sumber daya manusia dalam penerapan teknologi tersebut," ucapnya.
Seiring dengan kemajuan teknologi, perusahaan dan lembaga keuangan menghadapi kebutuhan yang terus menerus untuk bertransformasi dan beradaptasi dengan cepat guna memerangi ancaman kasus fraud yang terus berkembang.
Baca juga: AFPI: Pencairan Pinjaman Sesuai SOP Bisa Minimalisir Praktik Penipuan
Seminar "Membangun Kepercayaan pada Saluran Digital: Studi Risiko Fraud Perbankan Indonesia" yang diselenggarakan GBG menyoroti perlunya identifikasi kasus fraud sejak dini dan langkah-langkah proaktif, investasi teknologi untuk menjunjung tinggi kinerja dan kredibilitas, serta memprioritaskan pendidikan dan kesiapan teknologi.
Penerapan teknologi yang efisien dan kolaborasi antar stakeholder ditekankan sebagai strategi yang penting.
Selain itu, rekayasa sosial dan ancaman endpoint berdampak pada hampir separuh dari lembaga di Indonesia, menyoroti perlunya langkah-langkah keamanan yang kuat.
Baca juga: Penjelasan Bos Holding BUMN Farmasi Soal Temuan Fraud di Indofarma, Ada Utang Pinjol
Country Director Indonesia GBG PLC Sahrizal Sofian, mengatakan mengenai perlunya peningkatan kewaspadaan terhadap pihak-pihak yang mengeksploitasi kemajuan digital.
"GBG menggunakan metode scoring berlapis dengan verifikasi identitas, pemantauan transaksi, analisis perilaku dan endpoint security (keamanan perangkat pengguna). Kolaborasi antar lembaga keuangan sangatlah penting dan GBG berencana mengembangkan platform untuk pertukaran informasi yang lebih baik dan terkoordinasi," ucap Sahrizal.