TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ancaman serangan siber makin berkembang dan kompleks seiring dengan kemajuan teknologi. Terutama di sektor perbankan, termasuk bank pembangunan daerah (BPD).
Ketua Umum Asbanda Yuddy Renaldi mengatakan, ancaman serangan siber menjadi tantangan yang sangat serius bagi sektor perbankan, termasuk BPD tidak luput dari ancaman serangan siber.
Keberhasilan BPD dalam menghadapi ancaman serangan siber sangat bergantung pada kesiapan dalam mengadopsi teknologi yang dibarengi dengan pelatihan dan kesadaran karyawan terhadap IT security," ujarnya di Seminar Nasional “Ancaman Cyber Crime di Era Digital Bagi BPD Seluruh Indonesia” yang diselenggarakan Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda) dan Bank Kalbar di Pontianak, Kamis, 8 Agustus 2024.
Baca juga: Di Balik Maraknya Judi Online, Pengamat Sebut Perbankan Ikut Nikmati Keuntungan dari Bisnis Ini
Fithriadi, Deputi Bidang Pelaporan dan Pengawasan Kepatuhan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkap sejumlah fakta peretasan pada sektor perbankan.
Berdasarkan pemantauan dan analisa yang dilakukan PPATK, diketahui bahwa serangan siber dilakukan secara terstuktur dengan memanfaatkan kelemahan IT security.
Salah satunya mengimitasi script server yang digunakan untuk akses BI-Fast sehingga dana bank umum bisa dipindahkan tanpa verifikasi bank umum itu sendiri.
"Biasanya pelaku peretasan memanfaatkan waktu akhir pekan, untuk melakukan aksinya karena rekonsiliasi data bank umum dan BI-Fast dilakukan di hari kerja," kata Fithriadi.
Dari sisi regulator, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sangat concern terhadap keamanan data nasabah dari serangan siber. OJK telah mengeluarkan blueprint transformasi digital untuk Industri Jasa Keuangan (IJK), termasuk perbankan.
“Blueprint ini diturunkan dalam POJK Nomor 11 Tahun 2022 tentang penyelenggaraan Teknologi Bank Umum, dan POJK 21 Tahun 2023 tentang Layanan Digital Bank Umum. Ini yang mengatur tingkat kepatuhan bank dalam adopsi teknologi yang dilakukan secara bertanggung jawab,” kata Deputi Komisioner Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan dan Perlindungan Konsumen OJK, Rizal Ramadhani.
Seminar menghadirkan pembicara Eko B. Supriyanto, Chairman Infobank Media Group dan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Daerah Kalbar, Brigjen Pol Yusup Saprudin.
Baca juga: Soal Tarik Dana Belasan Triliun dari Perbankan Pelat Merah, BCA Mau Rangkul Muhammadiyah?
Brigjen Pol Yusup menjelaskan pihaknya mendapatkan sejumlah temuan kerawanan serangan siber pada perbankan daerah. Salah satunya adalah fokus perbankan lebih banyak pada digitalisasi yang mengikuti pergeseran perilaku nasabah.
"Padahal investasi di bidang digital harus berbanding lurus dengan investasi di bidang cyber security. Ditambah lagi, security awarness tidak merata pada pegawainya, cenderung hanya pada tim IT, " ujarnya.
Di sisi lain, ancaman serangan kejahatan siber di bank daerah makin kompleks. Ada beberapa ancaman utama yang dihadapi BPD. Mulai dari phising dan social engineering, malware dan ransomware, hingga cryptojacking.
Eko menjelaskan ada sejumlah kunci pembelajaran yang bisa diadopsi dalam mencegah kejahatan serangan siber. Pertama, prioritas keamanan siber untuk manajemen tertinggi.
“Dalam hal ini, direksi dan komisaris harus memiliki komitmen memberikan perhatian utama pada keamanan siber,” ujarnya.
Selain itu, dalam keamanan siber, harus dilakukan pendekatan yang pro aktif. Menurut laporan dari Gartner pada 2022, penerapan pendekatan keamanan siber yang pro aktif dapat mengurangi insiden pelanggaran keamanan hingga 66 persen pada tahun 2026.
Hal penting lainnya adalah menjadikan keamanan siber sebagai proses berkelanjutan. Untuk itu, penting bagi bank untuk terus berinvestasi dan menjaga kepatuhan, serta memperbaharui pertahanan keamanan secara teratur.
“Terakhir, pengembangan budaya keamanan siber yang kuat dengan membangun budaya keamanan siber yang solid di seluruh organisasi. Ini jadi hal yang krusial,” ujarnya.