Laporan wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah asosiasi pengusaha, pedagang pasar, dan peritel menolak Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan
Asosiasi yang menolak ialah Asosiasi Koperasi dan Ritel Indonesia (Akrindo), Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), dan Asosiasi Pasar Rakyat Seluruh Indonesia (APARSI).
Kemudian, ada Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (HIPPINDO), Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI), dan Komite Ekonomi Rakyat Indonesia (KERIS).
Selanjutnya, ada Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) dan Perkumpulan Pengusaha Kelontong Seluruh Indonesia (PERPEKSI).
Baca juga: Asosiasi Pedagang Harap Pemerintahan Prabowo-Gibran Tinjau Ulang PP Kesehatan
Mereka menolak khususnya mengenai berbagai larangan bagi produk tembakau yang tertera dalam pasal 434.
Beleid tersebut di antaranya memuat mengenai larangan penjualan produk tembakau dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak.
Selain peraturan mengenai radius 200 meter tersebut, ada juga larangan penjualan rokok eceran serta larangan pemajangan produk tembakau di tempat berlalu lalang.
Ketua Umum APARSI Suhendro mengaku resah akan peraturan ini karena ia merasa sebagai korban yang terdampak secara langsung.
Sejumlah bentuk larangan pada pasal 434 diyakini makin membebani usaha anggota APARSI yang mencapai 9 juta dan tersebar di seluruh Indonesia.
Ia mengatakan, ekonomi kerakyatan sedang sangat terpukul. Setelah pandemi, perekonomian disebut juga masih naik turun.
"Kami berharap sekali pemerintahan baru bisa mendengarkan suara kami dan PP ini bisa ditinjau ulang. Kita punya semangat yang sama agar PP ini bisa dievalusi ulang,” kata Suhendro dalam acara diskusi di Jakarta Pusat, Selasa (13/8/2024).
Sekretaris Umum PERPEKSI, Wahid, mengungkap bahwa pengusaha kelontong ikut kena imbas atas aturan ini di lapangan.
Wahid mengatakan, penjualan rokok menyumbang sekitar 60-70 persen bagi omzet warung.
Jadi, jika penjualan rokok dibatasi, konsekuensinya berimbas pada penurunan omzet hingga ancaman mematikan keberlangsungan usaha dari para pedagang kelontong.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum DPP AKRINDO Anang Zunaedi menilai aturan ini akan menekan pedagang ritel dan koperasi akibat adanya pembatasan penjualan.
Ia mengatakan, anggota AKRINDO yang berjumlah 900 anggota koperasi ritel dan 1.000 toko-toko lokal, rata-rata mengandalkan omzet dari penjualan rokok.
Jika aturan ini dijalankan, maka pelaku usaha akan kehilangan omzet setidaknya sebesar 50 persen.
“Kami secara tegas menolak PP 28/2024. Ini harus dibatalkan. Hingga proses penandatangan, kami tidak pernah diajak duduk bersama untuk membahas PP ini,” ucap Anang.
Sejumlah asosiasi ini menyatakan siap melakukan aksi dan turun langsung ke lapangan apabila permintaan mereka tidak mendapat tanggapan yang baik dari pemerintah.
Baca juga: Berpotensi Rugikan Ekosistem Tembakau Nasional, P3M Usul Pembatalan PP 28 Tahun 2024
Sebagai informasi, pengendalian zat adiktif produk yang mengandung tembakau atau tidak mengandung tembakau, baik rokok atau bentuk lain yang bersifat adiktif, diatur dalam Bab II Bagian Kedua Puluh Satu Pengamanan Zat Adiktif, dari Pasal 429 sampai Pasal 463 PP 28/2024.
Aturan rokok eceran tertuang pada Pasal 434 ayat (1) berbunyi, setiap orang dilarang menjual produk tembakau dan rokok elektronik:
- Menggunakan mesin layan diri;
- Kepada setiap orang di bawah usia 21 (dua puluh satu) tahun dan perempuan hamil;
- Secara eceran satuan per batang, kecuali bagi produk tembakau berupa cerutu dan rokok elektronik;
- Dengan menempatkan produk tembakau dan rokok elektronik pada area sekitar pintu masuk dan keluar atau pada tempat yang sering dilalui;
- Dalam radius 200 (dua ratus) meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak; dan
- Menggunakan jasa situs web atau aplikasi elektronik komersial dan media sosial.