Laporan wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengungkap, pelaku industri gelisah setelah mengetahui produk detergen tengah masuk dalam radar prakajian pengenaan cukai.
Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kemenperin Reni Yanita pun mempertanyakan urgensi detergen akan dikenakan cukai.
"Ini menggelisahkan pelaku industri. Kata saya sama pelaku [industri] detergen, saat ini pengganti detergen itu apa? Kan belum ada," katanya ketika ditemui di Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (15/8/2024).
Menurut dia, saat ini pelaku usaha detergen sudah memiliki produk yang kemasannya biodegradable. Selain itu, produknya juga disebut sudah ramah kulit dan tersertifikasi halal.
Reni khawatir jika detergen dikenakan cukai, yang akan terjadi malah peredaran produk ilegal jadi marak di pasaran.
Belum lagi jika kelak usulan detergen dikenakan cukai akhirnya terealisasi, banyak pihak dinilai tidak akan patuh dalam pembayarannya.
"Khawatirnya dengan cukai, banyak beredarnya produk ilegal yang ga bayar cukai itu kan. Dengan kondisi saat ini, yang cukainya hanya berapa, tetapi [lebih] patuh. Dibandingkan begitu naik, banyak yang enggak bayar cukai," ujar Reni.
Usulan deterjen masuk dalam radar prakajian pengenaan cukai dikemukakan oleh Direktur Teknis dan Fasilitas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Iyan Rubianto.
Selain detergen, ada barang lainnya yang sedang dalam radar prakajian pengenaan cukai, yaitu smartphone, MSG, batubara.
Rumah, tiket pertunjukan hiburan seperti konser musik, fastfood (makan siap saji), dan tissue juga sedang dalam prakajian untuk dikenakan cukai.
Baca juga: Simplifikasi Cukai Jepit Industri hingga Petani, Rokok Ilegal Jadi Sorotan
Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea Cukai, Nirwala Dwi Heryanto, menjelaskan bahwa kriteria barang yang dikenakan cukai ialah barang yang mempunyai sifat atau karakteristik konsumsinya perlu dikendalikan.
Lalu, peredarannya perlu diawasi, pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup, atau pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.