Laporan Ameyliarti Bunga Lestari
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dua dekade lebih setelah kerusuhan besar di tahun 1998 yang menghantam sektor perdagangan dan menorehkan trauma mendalam bagi para pedagang di Pasar Glodok, Jakarta Barat, kini para pedagang di sana menunjukkan ketegaran yang luar biasa.
Meski sejumlah demo kembali marak dalam beberapa waktu terakhir, aktivitas di Pasar Glodok tetap berjalan normal tanpa terpengaruh signifikan, berbanding terbalik dengan kondisi yang terjadi saat tragedi 1998.
Arif, salah satu pengelola Pasar Glodok, mengakui bahwa meskipun ada pemberitaan negatif terkait demo-demo tersebut, kondisi di lapangan sangat berbeda.
Baca juga: Cak Imin Dapat Testimoni Soal Anies Baswedan Saat Blusukan ke Chinatown Glodok
“Dulu, tahun 1998, demo besar-besaran dan kerusuhan menyebabkan kehancuran di mana-mana. Banyak pedagang di sini yang kehilangan segalanya. Trauma itu masih ada, tapi sekarang kondisinya berbeda. Para pedagang lebih tegar dan fokus pada pemulihan ekonomi setelah terpukul pandemi,” ujar Arif.
Pasar Glodok saat ini tengah dalam proses pemulihan setelah terdampak pandemi Covid-19. Meski demikian, masa-masa sulit pada tahun 1998 telah mengajarkan para pedagang untuk lebih siap dan tangguh dalam menghadapi berbagai tantangan.
"Jika dibandingkan dengan tragedi 1998, situasi saat ini jauh lebih stabil. Para pedagang sudah belajar banyak dari masa lalu, mereka lebih kuat dan tidak mudah terpengaruh oleh isu-isu negatif atau kekhawatiran yang tidak berdasar," kata Arif.
Sejak pandemi berakhir, aktivitas perdagangan di Pasar Glodok mulai bangkit kembali. Beberapa toko yang sebelumnya tutup kini beralih fungsi menjadi gudang atau tempat packing barang yang dijual secara online, menandai adaptasi para pedagang terhadap perubahan zaman.
“Ada beberapa toko yang memang dijadikan gudang untuk penyimpanan dan packing barang. Barang-barang ini kemudian dikirim ke pembeli, terutama melalui platform online seperti Shopee,” jelas Arif.
Ia juga menekankan bahwa meskipun harga-harga barang tetap stabil, para pedagang tidak lagi merasa cemas seperti pada tahun 1998. Saat itu, kerusuhan besar-besaran melumpuhkan perdagangan, namun kini, para pedagang lebih fokus pada inovasi dan pemulihan ekonomi.
“Harga barang tetap normal, dan tidak ada keluhan dari para pedagang. Mereka sudah tahu bagaimana menghadapi situasi sulit tanpa harus khawatir berlebihan seperti dulu,” tambahnya.
Baca juga: Penjual Baju Cheongsam Jelang Imlek di Glodok: Ada yang Laris, Ada yang Omzetnya Turun 25 Persen
Dalam mengatasi dampak pandemi, Pasar Glodok juga menerapkan kebijakan khusus. Selama pandemi, banyak toko yang memilih tutup atau mengalihkan operasional mereka ke platform online. Aktivitas penyewaan kios di Pasar Glodok mengalami peningkatan sejak pandemi mereda.
“Pada masa pandemi, kami memberikan diskon sewa untuk meringankan beban pedagang. Kini, harga sewa sudah kembali normal, dan penyewa mulai bertambah. Trauma 1998 membuat pedagang lebih hati-hati dalam mengelola bisnis mereka, namun mereka tetap optimis,” ujar Arif.
Trauma akibat kerusuhan 1998 memang masih membekas di benak para pedagang Pasar Glodok. Trauma tersebut telah dimanfaatkan sebagai pelajaran berharga untuk menghadapi tantangan saat ini.
Dengan pengalaman pahit yang mereka alami pada tahun 1998, para pedagang di Pasar Glodok kini lebih siap menghadapi tantangan apapun yang datang.
Mereka terus berinovasi, baik dengan memanfaatkan platform digital untuk penjualan maupun menjaga stabilitas bisnis di pasar tradisional.
Pasar Glodok, yang pernah menjadi saksi bisu kerusuhan besar 1998, kini kembali menjadi pusat perdagangan yang vital di Jakarta, membuktikan bahwa ketangguhan dan adaptasi adalah kunci bertahan di tengah badai.