Laporan wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah mencatat jumlah masyarakat kelas menengah di Indonesia mengalami penurunan.
Berdasarkan data yang pernah diungkap Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, kelas menengah di Indonesia ada sekitar 17,13 persen dan aspiring middle class mendekati 50 persen.
Menurut Menteri Keuangan periode 2014 - 2016 Bambang Brodjonegoro, penyebab penurunan kelas ini variatif.
Baca juga: Mendag Zulkifli Hasan Tekankan Diplomasi Luar Negeri Jadi Kunci Capai Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen
Penyebab utamanya adalah pandemi Covid-19. Saat wabah ini merebak selama dua tahun, masyarakat kelas menengah kehilangan pekerjaan dan yang memiliki bisnis mengalami kebangkrutan.
Ketika akhirnya pandemi Covid-19 mulai pulih pada 2022, tingkat suku bunga tinggi pun masuk.
Tingkat suku bunga tinggi masuk karena Bank Sentral Amerika Serikat (AS) sudah mulai menaikkan tingkat suku bunga akibat inflasi yang tinggi. Saat itu pun nilai tukar rupiah melemah.
"Jadi saya melihatnya kombinasi yang dimulai dari Covid, kemudian diperpanjang atau diperparah dengan tingkat bunga tinggi, nilai tukar rupiah yang melemah, jadi apa-apa lebih mahal. Itu kan mengurangi daya beli juga," kata Bambang kepada wartawan di Kuningan, Jakarta Selatan, dikutip Jumat (30/8/2024).
Kemudian, Bambang mengatakan kondisi saat itu diperparah dengan inflasi pangan, terutama harga beras, mengalami kenaikan.
Kala itu, inflasi pangan mengalami kenaikan karena adanya kekhawatiran dari pemerintah terhadap fenomena kekeringan yang berkepanjangan, yaitu El Nino.
Baca juga: Guna Dukung Pengembangan Ekonomi Desa, Program Desa BRILiaN 2024 Batch 3 Kembali Digelar
Meskipun inflasi umumnya baik-baik saja, tetapi inflasi harga pangannya sempat tinggi.
Bambang juga mengatakan, penurunan kelas ini juga disebabkan badai PHK yang terjadi di industri tekstil.
Industri tekstil dalam negeri dinilai tidak sanggup berhadapan atau bersaing dengan produk impor di pasar.
"Kombinasi itulah yang membuat sebagian kelas menengah itu turun dari kelas menengah mungkin ke aspiring middle class," pungkas Bambang.
Adapun di tengah penurunan ini, pemerintah sedang mencoba agar bisa mendorong kembali peningkatan jumlah kelas menengah di Indonesia.
Sekretaris Menteri Koordinator (Sesmenko) Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso menjelaskan alasan pemerintah ingin lebih mendorong pertumbuhan masyarakat kelas menengah.
Dia bilang, masyarakat kelas menengah Indonesia memiliki kontribusi ekonomi yang tinggi.
Selain itu, masyarakat kelas menengah dinilai juga men-generate atau menghasilkan pajak untuk negara.
"Justru kalau kelas menengah kita perbesar, selain kontribusi ke ekonominya tinggi, kelas menengah kan bisa men-generate juga untuk tax based-nya lebih besar. Jadi perpajakannya akan lebih bagus," ujar Susiwijono di Jakarta Pusat, Selasa (27/8/2024).
"Kita kan khawatir di 2023 ke 2024 ini kan proporsi kelas menengah dan aspiring middle class mulai agak turun sedikit kan, kita ingin meningkatkan kembali porsi, peran, dan kontribusi ke perekonomian," lanjutnya.
"Kalau kelas menengah jumlahnya meningkat, itu otomatis tax based-nya lebih tinggi. Pembayar pajaknya lebih besar. Itu salah satu aspek aja perpajakan," ujar Susiwijono lagi.
Maka dari itu, pemerintah telah mengucurkan banyak insentif untuk masyarakat kelas menengah.
Di antaranya seperti program perlindungan sosial, insentif pajak, kartu prakerja, jaminan kehilangan pekerjaan, pembayaran iuran yang ditanggung pemerintah untuk kesehatan, kredit usaha rakyat, dan lain-lain.
Untuk di sektor perumahan, pemerintah telah mengucurkan Insentif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Ditanggung Pemerintah (DTP) 100 persen untuk sektor perumahan per 1 September hingga Desember 2024.
Lalu, ada juga penambahan kuota Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) tahun 2024.
Kuota akan bertambah dari 166 ribu unit menjadi 200 ribu unit.