Laporan Wartawan Tribunnews.com, Nitis Hawaroh
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar menyatakan, kinerja perekonomian Indonesia dinilai masih baik meski perlu dicermati menyoal daya beli masyarakat yang cenderung relatif lambat.
Menurutnya, tingkat inflasi komponen inti pada Agustus 2024 yang mencapai 0,20 persen secara bulanan atau month to month (mtm) itu dinilai relatif terjaga ditambah dengan neraca perdagangan yang mencatat surplus.
"Di pasar domestik kinerja perekonomian masih cukup positif dan cenderung stabil dengan tingkat inflasi inti yang masih terjaga dan neraca perdagangan yang tercatat surplus. Namun perlu dicermati pemulihan daya beli dan saat ini berlangsung relatif lambat," kata Mahendra dalam Konferensi Pers RDK Bulanan Agustus 2024 secara virtual, Jumat (6/9/2024).
Baca juga: OJK Terbitkan Peta Jalan Pengembangan Industri Penjaminan 2024-2028, Ini Langkah Jamkrindo
Mahendra mengatakan, OJK mewaspadai faktor risiko dan potensi dampak rambatan dari ketidakpastian akibat instalasi geopolitik global. Dia juga meminta pelaku industri untuk mengambil langkah yang antisipatif.
"Mengambil langkah antisipatif serta meminta industri untuk memonitor dan service secara berkala dan melakukan langkah mitigasi yang diperlukan seperti menyediakan buffer yang memadai dan pelaksanaan uji ketahanan secara periodik," terangnya.
Meski begitu, Mahendra menyebut bahwa sektor jasa keuangan Indonesia pada Agustus ini terjaga stabil didukung oleh tingkat permodalan yang kuat serta likuiditas memadai di tengah ketidakpastian global akibat meningkatnya tensi geopolitik dan pelambatan ekonomi global.
Mahendra mengaku, kinerja perekonomian global secara umum masih melemah dengan inflasi termoderasi. Di Eropa, indikator perekonomian belum solid di tengah situasi yang persisten dan ekspektasi pasar terhadap penurunan suku bunga bank sentral pada September 2024. Begitu juga di Tiongkok pertumbuhan ekonomi masih mengalami pelambatan.
"Tensi geopolitik global terpantau meningkat sejalan dengan tingginya dinamika politik di Amerika Serikat menjelang pemilihan presiden di bulan November serta potensi instabilitas di Timur Tengah dan juga Rusia akibat berlanjutnya perang di kedua kawasan itu," jelasnya.