TRIBUNNEWS.COM -- Biasanya kebijakan Bank Indonesia (BI) terhadap BI Rate atau suku bunga acuan lebih menunggu kebijakan dari bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve atau The Fed.
Pada September ini BI memutuskan untuk menurunkan suku bunga acuan sebesar 24 basis poin atau menjadi 6 persen dalam rapat dewan gubernur (RDG) September, Rabu (18/9/2024).
Ini mendahului pengumuman The Fed yang bulan ini belum digelar. Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan bahwa kali ini BI memang mendahului The Fed.
Baca juga: Warga Korban Kebakaran Plumpang Menang di Pengadilan, Pertamina Diminta Ganti Rugi Miliaran Rupiah
Ia memiliki lima alasan mengenai hal itu. Pertama, keputusan The Fed juga telah bisa diprediksi. “Probabilitas besar untuk September besar 25 bps, yang probabilitas agak kecil September 50 bps,” kata Perry, Rabu.
Bahkan Perry meramal The Fed bakal menurunkan suku bunga acuan sebanyak tiga kali masing-masing 25 persen, mulai September hingga Desember tahun ini.
Perry mengungkapkan alasan kedua, mata uang rupiah kini mulai perkasa terhadap dolar AS.
Menurutnya, hingga 17 September lalu, Rupiah makin moncer dan menguat 0,78 persen atau menjad Rp 15.300/dolar AS.
Penguatan rupiah ini tercatat lebih tinggi dibandingkan apresiasi mata uang regional seperti Won Korea dan Rupee India yang menguat sebesar 0,32 persen dan 0,13 persen.
Penguatan nilai tukar rupiah ini salah satunya didorong intervensi pasar, dan penerbitan SRBI yang akhirnya menarik aliran modal asing masuk.
Ketiga, kondisi inflasi yang rendah dan diperkirakan tetap terkendali hingga akhir tahun. BI memperkirakan inflasi akan terkendali di rentang 2,5 persen plus minus 1% pada 2024 dan 2025.
Baca juga: Bank Indonesia Pangkas Suku Bunga Acuan Jadi 6 Persen
Keempat, BI mendorong dan mendukung pertumbuhan ekonomi, khususnya dari sisi ritel juga usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Dorongan tersebut melalui bauran makroprudensial, sistem pembayaran, moneter memang sudah mulai untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
“Sebelumnya moneter kan lebih pro-stability, sekarang sudah lebih balance antara stability and growth. Sementara makroprudensial dan sistem pembayaran sejak awal sudah pro-growth,” ungkapnya.
Kelima, BI mendorong lebih lanjut dari penyaluran kredit pembiayaan ke perbankan, dan mendukung fiskal. Ia menjelaskan bahwa turunnya BI Rate akan membuat imbal hasil atau yield SBN turun, sehingga mendukung kebijakan fiskal.
“Kami sudah menakar probabilitas tersebut sehingga nggak harus menunggu, sudah ada kejelasan. Bulan lalu belum ada kejelasan, sehingga tidak harus menunggu Fed Fund Rate,” tandasnya.