News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Segara Research Institute: PP Kesehatan Berikan Kepastian Hukum Bagi Dunia Usaha

Penulis: Sanusi
Editor: Choirul Arifin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin menyampaikan pandangan akhir Pemerintah dalam sidang Rapat Paripurna DPR RI ke-29 Masa Sidang V Tahun 2022-2023 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (11/7/2023). Dalam Rapat Paripurna tersebut, Pimpinan dan Anggota DPR RI mengesahkan Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kesehatan menjadi Undang-Undang (UU). TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN

 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemberlakuan Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dan aturan turunannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 tahun 2024 mendapat apresiasi publik.

Regulasi anyar ini dianggap cukup memadai dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan, melindungi masyarakat, menjaga kepentingan publik dan membantu mengatasi berbagai permasalahan kesehatan di Indonesia.

Menurut Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah Redjalam, UU Kesehatan merupakan tonggak penting perwujudan amanah UUD 1945. Regulasi ini memastikan kehadiran negara dalam pengaturan kesehatan di Indonesia.

Menurut dia, PP 28 menyatakan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang bermutu, aman, efisien, merata, dan  terjangkau oleh masyarakat.

“Upaya kesehatan tersebut ditujukan untuk mewujudkan derajat kesehatan  yang setinggi-tingginya bagi masyarakat. Kami apresiasi niat baik pemerintah,” kata Piter.

Piter menjelaskan, UU Kesehatan dan PP 28 memberikan kepastian hukum bagi dunia usaha yang berkecimpung di sektor kesehatan.

Pelaku bisnis bisa kembali fokus mengembangkan usaha dan memenuhi kebutuhan konsumen karena merasa telah memiliki batasan atau pagar yang jelas, sehingga tidak keluar dari koridor hukum.

Menilik soal kesehatan bayi, kata dia, PP Kesehatan menyatakan, setiap bayi berhak memperoleh air susu ibu (ASI) eksklusif sejak dilahirkan sampai usia enam bulan, kecuali atas indikasi medis. Pengecualian terkait indikasi medis ini juga sejalan dengan the International Codeof Marketing of Breast-Milk Substitutes (WHO Code).

“Dengan kata lain, PP No. 28 tahun 2024  mengakui bahwa susu formula dapat digunakan untuk menggantikan ASI ketika ASI Eksklusif tidak dapat diberikan dan donor ASI tidak tersedia. Ini bentuk konfirmasi sekaligus validasi bahwa susu formula dapat dikonsumsi bayi usia 0-6 bulan,” kata Piter.

WHO telah menerbitkan WHO Code pada tahun 1981 dengan tujuan memberikan dukungan dan perlindungan terhadap proses menyusui dengan cara mengatur praktik perdagangan formula bayi dan produk Pengganti ASI (PASI) lainnya. Sejauh ini Indonesia cukup berhasil mengimplementasikan WHO Code, khususnya bila dibandingkan dengan capaian rata-rata negara di Asia dan dunia.

Merujuk Marketing of BMS: National Implementation of the International Code Status Report 2020, Pencapaian Indonesia pada tahun 2020 adalah sebesar 50 persen. Lebih baik dari rata-rata implementasi di kawasan Asia (41 persen) dan di tingkat global (11 persen).

Cukup berhasilnya implementasi WHO Code di Indonesia menyiratkan bahwa ketentuan pengaturan praktik perdagangan formula bayi dan produk pengganti ASI untuk produk bayi hingga usia satu tahun yang diberlakukan oleh pemerintah sejauh ini tidak menghambat pemberian ASI Eksklusif di Indonesia.

Ketua DPR RI, Puan Maharani (tengah) didampingi Wakil Ketua DPR RI, Lodewijk Freidrich Paulus (kiri) dan Rachmat Gobel (kanan) memimpin sidang Rapat Paripurna DPR RI ke-29 Masa Sidang V Tahun 2022-2023 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (11/7/2023). Dalam Rapat Paripurna tersebut, Pimpinan dan Anggota DPR RI mengesahkan Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kesehatan menjadi Undang-Undang (UU). TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)

Keberadaan susu formula dan upaya mendorong pemberian ASI Eksklusif seharusnya tidak perlu dipertentangkan. PP 28, sebagaimana juga WHO, mengakui bahwa susu formula aman dan dapat diberikan kepada bayi ketika ASI tidak dapat diberikan oleh Ibu bayi ataupun oleh donor.

Terkait hal itu, menurut Piter, peraturan turunan PP 28 sejatinya tidak perlu merubah ketentuan yang sudah ada saat ini, yaitu pembatasan kegiatan promosi susu formula sesuai dengan PP No. 69 Tahun 1999.

“Bahwa PP sebelumnya sudah mengatur ketat iklan tentang pangan yang diperuntukkan bagi bayi yang berusia sampai dengan satu tahun, dimana industri sudah ikut aturan main karena diatur secara ketat,” sebut Piter.

Baca juga: DPR Ingatkan Potensi Intervensi Asing di RPMK Turunan PP Kesehatan 

Piter menambahkan, yang lebih penting dilakukan adalah edukasi mengenai nutrisi yang dapat dilakukan bersama antar pemangku kepentingan. Apalagi angka prevalensi stunting belakangan menunjukkan kondisi yang kurang menggembirakan.

Data BPS menunjukkan bahwa angka pemberian ASI Eksklusif di Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun 2020 hingga 2022 dari 68,84 persen menjadi 72,04 persen (2022) dan 73,9 persen (2023).

Namun demikian, di sisi lain, pada 2023 terjadi perlambatan penurunan angka prevalensi stunting yang hanya turun 0,1 persen dari 21,6 persen di tahun 2022 menjadi 21,5 persen di 2023.

Melihat kondisi yang ada mengenai pemberian ASI Eksklusif dan juga perlunya percepatan penurunan angka stunting, kata dia, diperlukan penciptaan kondisi yang mendukung pemberian ASI Eksklusif seperti ruang laktasi di kantor dan ruang publik, serta penguatan akses informasi atas pilihan nutrisi yang sehat bagi bayi.

Baca juga: Guru Besar UIN Jakarta Soroti Aturan Penyediaan Alat Kontrasepsi Bagi Remaja di PP Kesehatan

“Saya kira di saat masih ada isu stunting dan juga semakin meningkatnya proporsi tenaga kerja perempuan, justru akses terhadap produk dan informasi produk butuh diperkuat,” tambah Piter.

Piter mengharapkan, pemerintah bisa menjaga momentum positif ini untuk mengupayakan perbaikan status kesehatan dan kondisi perekonomian.

Diperlukan kondisi regulasi yang kondusif sehingga angka pemberian ASI Eksklusif terus meningkat, angka prevalensi stunting semakin membaik dan kontribusi industri nutrisi terhadap perekonomian juga terjaga. Hal ini perlu dijaga di tengah-tengah trend pemberhentian hubungan kerja (PHK) yang terjadi akhir-akhir ini.

Berdasarkan data Kementerian Tenaga Kerja, korban PHK industri manufaktur telah mencapai 46 ribu pekerja sepanjang tahun 2024.

Industri tekstil, garmen dan alas kaki menjadi sektor terbesar penyumbang PHK akibat anjloknya permintaan konsumen dalam tiga tahun terakhir.

kepsyen foto: Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah Redjalam

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini