TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas mengamanatkan penerimaan tenaga kerja sebesar 1 persen dari kalangan penyandang tunanetra di perusahaan swasta dan 2 persen pada instansi pemerintah.
Namun, amanat UU tersebut belum sepenuhnya terlaksana dengan mulus di lapangan.
Berdasar data dari Australia - Indonesia Disability Research and Advocacy Network (AIDRAN) tahun 2023, penyandang tunanetra di Indonesia mencapai 1,5 persen dari total jumlah penduduk (sekitar 4 juta orang), tetapi hanya 1 persen dari total keseluruhan penyandang disabilitas yang bekerja di sektor formal.
Kondisi ini mendorong munculnya penelitian kolaboratif antara Filipina, Indonesia dan Vietnam untuk mempelajari hal-hal yang menjadi faktor kesuksesan penyandang tunanetra yang sudah berhasil bekerja di sektor formal, agar selanjutnya faktor-faktor tersebut dapat diakselerasi melalui program yang direkomendasikan oleh hasil penelitian.
"Tujuan dari studi yag akan dilakukan ini kita ingin melihat apa saja faktor kunci keberhaslan penyandang diabilitas netra di sektor formal. Ini penting mengingat hak atas pekerjaan itu merupakan hak asasi manusia.
Ada diantara mereka yang sudah menyandang sukses," kata Yosa Nainggolan, Chief Researcher Indonesia dalam paparannya di Jakarta, Kamis, 3 Oktober 2024.
Bambang Basuki bertindak sebagai project director riset ini. Menurut Yosa, riset ini merupaan kerja tim yang melibatkan peneliti Indonesia, Filipina dan Vietnam.
"Penelitian menggunakan metodologi kualitatif dan kuantitatif lewat survei via kuesioner di Google Form. Total ada 195 responden di tiga negara, 54 diantaranya di Indonesia. Untuk sasaran survei di Indonesia seluruhnya tuna netra yang sudah bekerja," kata dia.
Metode penelitian kualitatif dilakukan melalui indepth interview dan kegiatan focus group discussion (FGD) terutama ke faktor-faktor eksternal.
"Kita tanyakan apa saja softskill yang dimiliki penyandang disabilitas netra. Juga saat mereka menulis resuma saat melamar kerja, cara menghadapi situasi kerja di kantor termasuk menyiapkan diri saat bekerja di kantor.
Riset kita jalankan selama 6 bulan, mulai Januari sampai Juni 2024," bebernya.
Yosa mengatakan, para tunanetra bekerja di banyak bidang, di Indonesia dari 54 responden, 3 diantaranya bekerja di sektor IT.
"Hampir di banyak negara, mereka kebanyakan bekerja di sektor pendidikan sebagai guru.
Mereka rata rata berpendidikan S1 bahkan ada yang S3. Tapi jenis pekerjaan dan gaji standar S1," sebutnya.
Penelitian ini juga mempelajari hal-hal yang menjadi hambatan bagi tenaga kerja tunanetra dan memberikan rekomendasi untuk menyikapi hambatan tersebut.
Baca juga: Bertemu Jokowi, Organisasi Penyandang Disabilitas Keluhkan Persentase Kesempatan Kerja
Penelitian dengan topik “Faktor Kunci Kesuksesan Tunanetra Bekerja di Sektor Formal” dilakukan oleh tiga lembaga yang melakukan pendampingan para tunanetra, yaitu Mitra Netra (Indonesia), Resources of the Blind (Filipina), dan Sao Mai Center (Vietnam) dengan dukungan dana oleh The Nippon Foundation.
Mitra Netra berharap dari hasil penelitian, dukungan berbagai pihak untuk penyediaan lapangan kerja bagi tunanetra dapat terwujud dengan lebih baik, perusahaan-perusahaan swasta, BUMN dan BUMD serta lembaga pemerintah akan lebih proaktif dalam menyediakan kesempatan kerja bagi penyandang tunanetra, serta menciptakan lingkungan kerja yang inklusif.
Melalui penelitian ini, Indonesia juga belajar dari kemajuan yang telah dicapai oleh para tunanetra melalui dukungan kebijakan pemerintah dan sektor swasta di Filipina dan Vietnam.
Aria Indrawati, Kabag. Humas & Divisi Ketenagakerjaan Yayasan Mitra Netra mengatakan, keterlibatan Mitra Netra dalam proyek penelitian ini merupakan bentuk komitmen lembaganya memberdayakan dan mendukung tunanetra agar dapat hidup mandiri, cerdas, dan bermakna dalam masyarakat yang inklusif.
"Kami juga berharap, baik pemerintah pusat dan daerah, serta pemberi kerja dari sektor BUMN, BUMD, dan swasta dapat memanfaatkan hasil penelitian ini sebagai landasan untuk merumuskan kebijakan dan program yang lebih efektif," ujarnya dalam paparannya.
Hasil penelitian ini juga untuk mendorong praktik inklusif di tempat kerja, serta meningkatkan kesadaran masyarakat tentang potensi tunanetra.
Dijelaskan, kelompok usia yang diteliti lebih dari 90 persen tenaga kerja penyandang tunanetra saat ini berusia di bawah 45 tahun, sementara itu lebih dari 50 persen merupakan pekerja yang berada pada kelompok usia 26–35 tahun.
Latar belakang responden yang sudah bekerja didominasi bidang pendidikan 28 persen (pengajar), bidang sosial 16 persen (termasuk di LSM), bidang administrasi 16 persen, keterampilan memijat dan fisioterapi 15 persen, bidang teknologi informasi 8 persen, dan bidang keuangan 3%.
Yosuke Ishikawa, Direktur Program The Nippon Foundation mengatakan, lembaganya terlibat dalam penelitian ini untuk mengidentifikasi faktor internal dan eksternal yang menghambat penyandang disabilitas visual dalam mendapatkan kesempatan kerja.
"Khususnya apa saja keberhasilan dan kegagalan hasil kerja melalui penelitian berbasis bukti, sehingga penyandang disabilitas visual dapat memperoleh akses kepada pekerjaan yang lebih aman setelah menyelesaikan pendidikan tinggi," ujarnya.
Melalui penelitian ini, The Nippon Foundation berharap Yayasan Mitra Netra dan organisasi mitranya di Vietnam dan Filipina dapat mewujudkan mekanisme dukungan ketenagakerjaan yang berkelanjutan dan menjadi model bagi wilayah lain untuk mempromosikan ketenagakerjaan yang lebih inklusif.
Berdasar hasil survei, wawancara, dan Focussed Group Discussion (FGD), akhirnya didapatkan hasil yang memberikan gambaran akan faktor-faktor yang mendukung dan menghambat keberhasilan penyandang tunanetra di sektor ketenagakerjaan formal, baik yang bersifat internal maupun eksternal.
Dari sisi gender, ditemukan tren positif mengenai kesetaraan akses pada semua sektor.
Selama ini ada anggapan umum bahwa perempuan tunanetra mendapat akses yang lebih terbatas dibanding laki-laki tunanetra.
Namun pada penelitian tiga negara ini terdapat 40?ri mereka yang bekerja dan menunggu pekerjaan di antara peserta tunanetra adalah perempuan, sementara laki-laki 60%.
Data responden Indonesia juga tidak berbeda jauh, yaitu 64% laki-laki dan 36% perempuan.
Tim peneliti dapat melihat bahwa semakin banyak perempuan tunanetra yang memasuki sektor pekerjaan formal dan kesadaran ini diprediksi akan menjadikan persentase tersebut terus bergerak menuju sama dengan laki-laki tunanetra dalam waktu dekat.
Penelitian juga menemukan fakta bahwa lembaga pendidikan saat ini telah menyediakan fasilitas pendidikan inklusi yang semakin baik, karena sebanyak 85 dari 196 responden yang mengenyam pendidikan, merupakan lulusan S1, 13 persen memiliki gelar master, dan gelar doktor dimiliki 2 persen lainnya.
Khusus untuk Indonesia, 76?rhasil mengenyam gelar S1, 22 persen memiliki gelar master, dan 2 persen lainnya memiliki gelar doktor. Kondisi ini dapat menunjang perkembangan ketenagakerjaan tunanetra.
Latar belakang pendidikan juga sangat mempengaruhi bidang pekerjaan yang dipilih atau mampu didapatkan oleh para pekerja tunanetra.
Sebanyak 42 persen dari total responden memilih pendidikan humaniora yang di dalamnya termasuk ilmu psikologi, sosiologi, sejarah, bahasa dan lain-lain.
Kemudian sebesar 28 persen memilih ilmu pendidikan. Hal ini nyata berpengaruh kepada pilihan pekerjaan yang didominasi bidang pendidikan, yaitu 29 persen dari 144 orang yang dipekerjakan, memiliki profesi yang berkaitan dengan mengajar.
Penyerapan pekerja tunanetra yang tinggi pada bidang pendidikan menjadi salah satu indikator tingginya minat tunanetra berkarir di sektor ini.
Namun hal ini juga dapat dilihat dari sudut pandang berbeda. Sebagai lembaga yang mengayomi tunanetra di Indonesia, Mitra Netra berpendapat bahwa banyaknya tunanetra yang berprofesi pada bidang pendidikan membuat calon tenaga kerja tunanetra hanya melihat bidang ini yang potensial bagi mereka.
Padahal dengan perkembangan industri teknologi yang masif, bidang ini juga dapat menyerap cukup besar tenaga kerja tunanetra di Indonesia. Filipina dan Vietnam dapat mejadi contoh konkret dari peran potensi industri pada penyerapan tenaga kerja di bidang teknologi.
Masuknya tunanetra pada industri teknologi juga akan mendapatkan dukungan kuat dari perkembangan perangkat teknologi, khususnya perangkat lunak yang dapat mendukung pekerjaan pada bidang ini.
Dari data yang dihimpun, bahkan terungkap, sebagian tunanetra yang bekerja pada industri teknologi sebenarnya tidak memiliki latarbelakang akademik di bidang tersebut, namun, mereka memiliki minat yang tinggi untuk membangun karir sebagai programmer.
Situasi ini dapat mendorong diadakannya pelatihan keterampilan di bidang TI, sehingga penyerapan pekerja tunanetra di sektor ini diharapkan terus meningkat.
Riset ini menyimpulkan, memberdayakan tunanetra dengan melibatkan mereka secara penuh di pekerjaan sektor formal adalah investasi yang berharga untuk bangsa dan negara.
Dengan memiliki pekerjaan, tunanetra akan mandiri secara finansial, tidak tergantung pada bantuan sosial pemerintah, akan menjadi pembayar pajak, yang berarti turut berperan dalam pembiayaan pembangunan negara.