Laporan wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Koperasi dan UKM (MenKopUKM) Teten Masduki mengungkapkan ambisi Indonesia melakukan hilirisasi rumput laut masih menemui jalan buntu karena sejumlah kendala.
Teten menyebutkan bahwa 92 persen rumput laut Indonesia masih diekspor dalam bentuk mentah ke China.
Setelah diekspor, China mengolah rumput laut dan mengirimkan barang olahan kembali ke Indonesia dengan tarif yang sangat rendah
"92 persen rumput laut kita itu diekspor barang mentahnya ke China. Lalu China masuk lagi barang olahannya ke Indonesia dengan tarif yang sangat rendah," kata Teten dalam forum bersama redaktur media di kantor KemenKopUKM, Jakarta Selatan, Senin (7/10/2024).
Kondisi ini menciptakan tantangan besar bagi industri dalam negeri, di mana produk olahan dari luar dapat masuk tanpa beban tarif, membuat Indonesia sulit melakukan hilirisasi rumput laut.
"Kita enggak mungkin bisa mengolah di sini karena dari China datangnya ke sini bahan baku disebutnya, jadi tanpa tarif, nah itu bodoh kita. Kalau enggak kita ubah itu, kita enggak bisa membangun hilirisasi rumput laut," ujar Teten.
Menurutnya, salah satu alasan hilirisasi rumput laut mandek adalah kebijakan investasi dan perdagangan yang tidak kondusif.
Ia menegaskan perlunya transformasi kebijakan agar ambisi Indonesia menghilirisasi rumput laut bisa tercapai.
"Jadi ini yang kita harus pikir. Hal-hal seperti ini mesti dibuka, karena enggak bisa Kementerian Koperasi dan UKM bertransformasi sendiri, sementara kebijakan investasinya, kebijakan perdagangannya, masih leluasa masih tidak kondusif bagi tumbuhnya industri dalam negeri," pungkas Teten.
Baca juga: Menteri Trenggono Ajak Rusia Investasi di Sektor Rumput Laut
Hilirisasi rumput laut telah beberapa kali digaungkan oleh pemerintah, salah satunya dari Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Ia meyakini hilirisasi rumput laut bisa sama menguntungkannya seperti yang dilakukan pemerintah pada nikel.
Luhut mengatakan, berkat hilirisasi, nilai ekspor nikel didapat Indonesia 10 tahun lalu yang hanya sebesar 1,5 miliar dolar Amerika Serikat (AS), pada 2023 lalu telah mencapai sekitar 34 miliar dolar AS.
"Kalau melihat ke tahun 2014, ekspor kita hanya 1,5 miliar dolar AS. Tahun lalu, ekspor kita sekitar 34 miliar dolar AS."
Baca juga: Kebijakan Hilirisasi Dukung Potensi NTT Hasilkan Produk Unggulan dari Rumput Laut
"Percayalah, dengan ekosistem nikel, pada tahun 2030, ekspor kita akan mencapai sekitar 70 miliar dolar AS," katanya dalam seminar "Accelerating the Upstream-Downstream Integration of the Seaweed Industry" di Bali, Rabu (22/5/2024).
Luhut percaya dengan hasil besar yang didapat dari hilirisasi nikel, rumput laut juga bisa mendapatkan keuntungan serupa.
Ia kemudian mengatakan sudah berkomunikasi dengan Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono terkait dengan pilot project atau proyek percontohan dari rumput laut ini.
"Saya sampaikan kepada rekan saya, Menteri Trenggono, mari kita buat pilot project yang terbesar. Kami punya 1.000 hektare, tapi kami akan segera memperluasnya," ujar Luhut.
Ia pun mengatakan proyeksi nilai ekspor rumput laut setelah diterapkan hilirisasi, pada 2033 bisa mencapai 19 miliar dolar AS.
"Jadi, jawabannya mengapa rumput laut? Ini adalah masa depan masyarakat Indonesia dan juga global. Jadi, ayo bergerak," tutur Luhut.
"Saya kira hasil penelitiannya sudah ada. Ada begitu banyak hal, sehingga kita bisa memulai sesuatu," pungkasnya.
Dalam unggahan Instagramnya pada Jumat (27/9/2024), Luhut menyebut Indonesia punya potensi menjadi pemain utama dalam hilirisasi rumput laut (seaweed) di kancah global.
Menurut dia, hilirisasi rumput laut kelak dapat dinikmati 62 persen masyarakat Indonesia yang tinggal di tepi laut.
Luhut juga menyebut hilirisasi rumput laut ini bukan hanya akan memperkuat ekonomi Indonesia, tetapi juga berperan penting dalam mengatasi perubahan iklim global.
Potensi ekonominya pun dipandang sangat besar, bahkan bisa melewati sektor-sektor lain yang selama ini menjadi andalan Indonesia.