Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian) Airlangga Hartarto mengungkapkan dirinya bersama Kementerian Ketenagakerjaan telah melakukan pertemuan, untuk membahas isu klaster ketenagakerjaan.
Diketahui, belum lama ini Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan terkait judicial review Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.
Hal ini diungkapkan Menko Airlangga setelah dirinya melangsungkan rapat kerja soal Pembahasan Usulan Program Quick Win Kementerian di Bidang Perekonomian, di Jakarta, Minggu (3/11/2024).
Baca juga: Menko Airlangga Pastikan Pemerintah Patuhi Putusan Mahkamah Konstitusi Soal UU Cipta Kerja
Adapun dalam rapat tersebut dihadiri sejumlah Menteri, salah satunya Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli.
Ada beberapa hal yang menjadi catatan dalam rapat hari ini. Yaitu pertama terkait dengan keputusan MK Pemerintah menindaklanjuti keputusan MK, terkait dengan ketenagakerjaan," ungkap Airlangga.
"Dan Menteri Tenaga Kerja akan segera mempersiapkan regulasi yang akan didorong," sambungnya.
Namun, Airlangga enggan membeberkan terkait teknis regulasi yang akan dibuat.
Airlangga hanya mengungkapkan, fokus isu ketenagakerjaan yang saat ini sedang dibahas adalah tentang permasalahan upah.
"Kalau (soal teknisnya) MK, nanti secara bertahap dari Kementerian Ketenagakerjaan akan mempersiapkan," ucap Airlangga.
"Tentu yang terkait dengan jangka pendek adalah upah minimum, kemudian ada upah sektoral, kemudian juga akan ada pemberitahuan ke para Gubernur, yang ini kan siklusnya ada di sana. Namun hal teknisnya kami harus lapor Pak Presiden dulu," pungkasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Tribunnews mencoba menanyakan isu ketenagakerjaan dengan Menteri Yassierli. Namun sayang, dirinya enggan memberikan tanggapannya.
Baca juga: Said Iqbal: Putusan Mahkamah Konstitusi Soal Cipta Kerja Sebagai Kemenangan Rakyat Kecil
Sebagaimana diketahui, gugatan yang diajukan oleh Partai Buruh dan serikat pekerja terhadap Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) telah mendapat respons positif dari Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam putusannya, MK mengabulkan sebagian gugatan tersebut dan melakukan perubahan pada sejumlah pasal dalam UU Ciptaker.
"Ada 21 pasal yang diubah oleh MK," ujar Ketua MK, Suhartoyo, dalam pembacaan putusan pada Kamis, 31 Oktober 2024.
Perubahan ini merespons kekhawatiran mengenai perlindungan hak pekerja yang terancam oleh perimpitan norma antara UU Nomor 13 Tahun 2003 dan UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Ciptaker.
Berikut poin penting putusan MK:
Keterbatasan Tenaga Kerja Asing
Tenaga kerja asing hanya dapat dipekerjakan untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu, dengan perhatian khusus terhadap pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia.
Mahkamah Konstitusi menegaskan, tiap pemberi kerja wajib mengutamakan penggunaan tenaga kerja Indonesia dalam semua jenis jabatan yang tersedia.
Penggunaan tenaga kerja asing diperbolehkan apabila jabatan tersebut belum diduduki oleh tenaga kerja Indonesia.
Namun, penggunaan tenaga kerja asing tersebut harus dilakukan dengan memperhatikan kondisi pasar kerja dalam negeri.
Jangka Waktu Pekerjaan: Perjanjian kerja waktu tertentu tidak dapat melebihi lima tahun
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) paling lama lima tahun.
Putusan tersebut merupakan pemaknaan baru terhadap norma Pasal 56 ayat (3) dalam Pasal 81 angka 12 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.
Hal ini merupakan salah satu norma yang dikabulkan MK dalam Perkara Nomor 168/PUU-XXI/2023.
“Pasal 56 ayat (3) dalam Pasal 81 angka 12 … bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: Jangka waktu selesainya suatu pekerjaan tertentu dibuat tidak melebihi paling lama lima tahun, termasuk jika terdapat perpanjangan,” kata Ketua MK Suhartoyo dalam sidang putusan di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis.
Dalam pertimbangan hukumnya, MK menggarisbawahi bahwa perjanjian kerja dibuat antara pihak pengusaha dan pekerja atau buruh dalam kedudukan para pihak yang tidak seimbang.
Pekerja atau buruh, kata MK, merupakan pihak yang berada dalam posisi yang lebih lemah.
Oleh karena itu, MK menyatakan jangka waktu PKWT penting untuk diatur di dalam undang-undang, bukan dalam peraturan turunan maupun perjanjian lainnya.
Perjanjian PKWT berbahasa Indonesia
Perjanjian kerja waktu tertentu dibuat tertulis serta harus menggunakan secara Bahasa Indonesia dan huruf Latin.
Alasan PHK
Dalam UU Cipta Kerja, alasan pemutusan hubungan kerja dari yang sebelumnya telah dibatasi dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menjadi lebih variatif yang diatur dalam peraturan pelaksana Undang-undang Cipta Kerja misalnya alasan PHK karena efisiensi mencegah kerugian sebagaimana diatur dalam PP No 35 tahun 2021.
Jenis outsourcing dibatasi
Majelis hakim juga meminta supaya undang-undang kelak menyatakan agar menteri menetapkan jenis dan bidang pekerjaan alih daya (outsourcing) demi perlindungan hukum yang adil bagi pekerja.
Menurut MK, perusahaan, penyedia jasa outsourcing, dan pekerja perlu punya standar yang jelas mengenai jenis-jenis pekerjaan yang dapat dibuat outsourcing, sehingga para buruh hanya akan bekerja outsourcing sesuai dengan yang telah disepakati dalam perjanjian.
Batasan ini juga diharapkan dapat mempertegas tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam praktik outsourcing yang kerap memicu konflik/sengketa pekerja dengan perusahaan.
Besaran Uang Pesangon
Mengembalikan nilai perhitungan pesangon sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan antara lain besaran pengali Uang Pesangon dalam hal Pensiun sebelumnya dihitung 2 kali dan diganti menjadi 1,75 dan dihapus/dihilangkannya Uang Penggantian Hak sebesar 15 persen dari Uang Pesangon dan Uang Penghargaan Masa Kerja;
Bisa libur 2 hari seminggu
MK pun mengembalikan alternatif bahwa terdapat opsi libur 2 hari dan 5 hari kerja seminggu untuk para pekerja.
Sebelumnya, aturan dalam UU Cipta Kerja hanya memberi jatah libur 1 hari seminggu untuk pekerja tanpa opsi alternatif libur 2 hari.
Padahal, UU Ketenagakerjaan sejak awal menyediakan opsi libur 2 hari seminggu untuk pegawai yang dibebaskan berdasarkan produktivitas masing-masing perusahaan.