Bahan baku termasuk barang yang tidak diizinkan masuk. Akibatnya, Sritex hanya memiliki waktu sekitar dua hingga tiga pekan sampai bahan baku yang sekarang dimiliki habis.
Dampak langsung dari kebijakan ini adalah dirumhakannya 2.500 karyawan Sritex, dengan kemungkinan lebih banyak lagi bisa mengalami hal serupa jika masalah bahan baku tidak segera teratasi.
Jumlah karyawan yang sekitar 20 ribu itu pun terancam diliburkan jika bahan baku benar-benar habis dalam dua hingga tiga pekan ke depan.
"Kalau sudah itu bahan baku habis bagaimana? Ya, tidak ada lagi yang dikerjakan oleh karyawan. Nah pertanyaannya, kalau seperti begitu, apa yang akan terjadi? Boleh dong Ombudsman berpikir, mewaspadai, munculnya PHK besar-besaran," ujar Yeka.
"Tapi perusahaan berdalih tidak akan PHK kalau itu terjadi, akan diliburkan, tapi dibayar gajinya. Itu kan biaya beban, mau sampai kapan? Itu pertanyaannya," lanjutnya.
Aksi Pemerintah Dipertanyakan
Yeka pun mempertanyakan pemerintah yang dianggap belum memiliki rencana jelas untuk menyelamatkan Sritex.
Pemerintah dinilai harus segera turun tangan jika mereka serius ingin menyelamatkan Sritex.
Ada batas waktu yang tidak bisa ditunda-tunda, yaitu selama dua hingga tiga pekan tersebut sampai bahan baku bisa habis dan aktivitas produksi berhenti total.
"Kan Presiden ngomong mau menyelamati, wakil menteri ngomong mau menyelamati, enggak akan ada PHK satu orang pun, katanya. Pertanyaan saya, ini ada urgent, bahan baku habis mau gimana? Apa contigency plan (rencana darurat) mereka?" ucap Yeka.
"Makanya Ombudsman memberikan peringatan kepada pemerintah. Kalau kalian memang benar serius mau bantu Sritex, ada masa yang tidak bisa kalian permainkan, yaitu apa? Tiga minggu. Dasarnya apa? Bahan baku habis," sambungnya.