Laporan Wartawan Tribunnews.com, Dennis Destryawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Rencana pemerintah untuk menaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen pada awal tahun 2025 perlu dipertimbangkan ulang. Dinilai akan berdampak negatif ke perekonomian.
"Kenaikan PPN akan berdampak negatif terhadap ekonomi mulai dari dampak terhadap menurunnya pertumbuhan ekonomi, naiknya inflasi, turunya konsumsi rumah tangga, dan minusnya ekspor serta impor," ujar Anggota DPR RI Anis Byarwati di Jakarta, Kamis (21/11/2024).
Dia mengingatkan pemerintah bahwa masih terdapat ruang dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) untuk mengkoreksi tarif PPN 12 persen yang berlaku di Januari 2024.
Baca juga: PPN Naik Jadi 12 Persen, Ekonom: Pemerintah Lagi Beburu di Kebun Binatang
Pada UU HPP pasal 7 ayat 3 dan ayat 4, disebut bahwa tarif PPN dapat disesuaikan menjadi paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen dengan kebijakan negara yang diatur oleh PP dengan persetujuan DPR RI.
"Ini ruang yang bisa digunakan dengan mempertimbangkan situasi ekonomi saat ini," tutur Anis.
Saat UU HPP dibentuk di 2021, asumsi yang digunakan saat itu adalah pada tahun 2025 diperkirakan ekonomi sudah pulih bahkan meningkat.
"Tapi nyatanya dari seluruh indikasi indikasi yang ada kondisi ekonomi kita saat ini sedang kurang baik," ucao Anis.
Indonesia mengalami deflasi selama lima bulan, tren ini dimulai pada Mei 2024 dengan deflasi kecil sebesar 0,03 persen, diikuti 0,08 persen pada Juni, 0,18 persen pada Juli, 0,03 persen pada Agustus, dan 0,12 persen pada September, deflasi menjadi sinyal daya beli masyarakat yang melemah.
Data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi nasional kuartal III tahun 2024 melambat di angka 4,95 persen year on year (yoy). Konsumsi rumah tangga melambat, hanya naik 4,91 persen (yoy), lebih rendah dari kuartal sebelumnya yang sebesar 4,93 persen.
Baca juga: Berikut Dampak Kenaikan PPN 12 Persen ke Kantong Masyarakat
"Maka konsumsi masyarakat sangat membutuhkan berbagai stimulus dari pemerintah, agar membaik," ungkapnya.
Dia mengungkapkan laporan BPS yang menunjukkan proporsi kelas menengah pada 2024 tercatat sebesar 47,85 juta jiwa, melorot dibandingkan periode prapandemi COVID19 pada 2019 yang mencapai 57,33 juta jiwa. sebanyak 9,48 juta kelas menengah kita turun kelas.
"Sebaliknya, kelompok ‘aspiring middle class’ atau kelas menengah rentan menunjukkan peningkatan jumlah, yakni dari 128,85 juta jiwa pada 2019 menjadi 137,5 juta jiwa pada tahun 2024," imbuhnya.
Data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) RI, sejak awal tahun hingga 15 November 2024, ada sekitar 64.288 tenaga kerja yang terkena PHK di Indonesia. Jumlahnya naik dari akhir Oktober yang tercatat sebesar 63.947 tenaga kerja.
"Jadi pascapandemi ini memang banyak industri yang tidak kembali pulih, PHK tertinggi dari sektor manufaktur, termasuk di industri tekstil," kata Anis.