News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Ini Ragam Tantangan yang Dihadapi ndustri Pelayaran di 2025

Penulis: Nitis Hawaroh
Editor: Choirul Arifin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ketua Umum INSA Carmelita Hartoto di acara Media Briefing di Jakarta, Rabu (18/12/2024).

 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Nitis Hawaroh 

 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesian National Shipowners Association (INSA) menyatakan, industri pelayaran nasional masih menghadapi sejumlah tantangan di tengah perannya dalam menjamin kelancaran logistik nasional.

Ketua Umum Indonesian National Shipowners Association (INSA) Carmelita Hartoto mengatakan, tantangan yang dimaksud di antaranya, perpajakan yang tidak lazim pada best practice kemaritiman internasional menjadi beban bagi pelayaran nasional. 

Seperti, pengenaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) dengan tarif 10 persen bagi angkutan laut yang membeli bahan bakar minyak (BBM). Pengenaan PBBKB tersebut menjadi double tax karena bahan bakar minyak (BBM) tersebut sudah dikenakan PPN sebesar 11 persen. 

"Double tax tersebut sangat membebankan perusahaan pelayaran nasional. Kami berharap pengenaan PBBKB bagi angkutan laut dihapuskan," kata Carmelita dalam Media Briefing di Kantor INSA, Rabu (18/12/2024).

Carmelita menyebut, angkutan laut memiliki potensi besar untuk dijadikan bagian dari pengoptimalan infrastruktur yang sudah ada sesuai kebijakan pemerintah dalam meningkatkan konektivitas dan pemerataan ekonomi.

Namun, kemampuan galangan yang menjadi ekosistem industri pelayaran masih terbatas untuk tipe, teknologi dan ukuran kapal tertentu. 

Karena itu, lanjut Carmelita, perlu adanya dukungan pemerintah dalam memberikan fasilitas insentif pajak maupun suku bunga perbankan terhadap galangan dalam negeri, sehingga dapat lebih kompetitif.

Baca juga: Hari Pelaut Sedunia, Ditjen Hubla Ingatkan Pentingnya Keselamatan Pelayaran

Di sisi lain, Carmelita melanjutkan, galangan kapal harus mendapatkan insentif agar bisa berkembang.

Hal ini seperti yang dilakukan di China, di mana pemerintah membantu pembayaran pembangunan kapal dengan skema down payment 80 persen, sedangkan 20 persen sisanya dibayar oleh pemilik kapal.

"Selama ini kalau kita lihat kita ini dulu-dulu itu angkutan dalam negeri kita terutama untuk angkutan produk-produk seperti tambang, minyak, 30 persen diangkut pemilik barang itu sendiri dan 70 persen diangkut oleh pengusaha nasional," ucap dia.

Baca juga: Rugikan Industri Pelayaran, KLH Ajak Pengusaha Ikut Cegah Illegal Logging

"Kita berharap, kita gamau muluk-muluk kita mengharap bahwa pemerintah memberi kesempatan kita semua agar supaya yang 70 persen itu diberikan pengusaha pelayaran nasional," imbuhnya menegaskan.

Carmelita mengatakan, jika subsidi seperti di China tidak memungkinkan, maka dibutuhkan alternatif dukungan lain dengan memberikan insentif pembebasan pajak untuk komponen kapal. 

Menurutnya, galangan kapal di Indonesia hanya memiliki pasar yang terbatas, dan lebih banyak untuk jenis kapal tug and barge dan maintenance kapal. Hal ini disebabkan banyaknya komponen yang mesti diimpor dan dikenakan pajak, sehingga butuh delivery time lebih Panjang dan harga kapal yang lebih tinggi sekitar 30 persen dibanding kapal yang sama di luar negeri. 

"Kami apresiasi dorongan pemerintah untuk membangun galangan kapal nasional. Namun selama komponen dan mesin kapal belum dapat diproduksi di Indonesia dan tidak ada insentif pajak, maka akan sulit mendorong galangan kapal untuk membangun kapal dengan kapasitas besar dan kompetitif," ungkapnya.

Baca juga: Bahaya Tersembunyi, Ada Risiko Kebakaran Mobil Listrik di Kapal Laut

Selain itu, persaingan usaha pelayaran nasional juga kian kompetitif, yang tidak hanya terjadi antar perusahaan pelayaran swasta nasional, tapi juga melibatkan BUMN yang pada dasarnya tidak memiliki inti bisnis di sektor pelayaran. 

Hal ini terlihat pada upaya BUMN yang tidak memiliki bisnis pelayaran namun mulai mencari muatan dari BUMN lainnya dengan menggunakan kapal swasta nasional. Praktik bisnis seperti ini dikhawatirkan menimbulkan ketidakseimbangan pasar dan memunculkan persaingan tidak sehat. 

"Kita ingin agar iklim usaha pelayaran nasional tetap kondusif dan persaingan yang sehat dengan mengedepankan kolaborasi antara perusahaan-perusahaan pelayaran niaga nasional baik swasta nasional maupun dengan BUMN," ucap dia.

"Yang mana pelayaran BUMN dapat tetap angkut 30 persen dari produk mereka, sedangkan sisanya diberikan kesempatan kepada swasta nasional melihat target pemerintah terkait pertumbuhan ekonomi 8 persen, maka dibutuhkan sektor swasta nasional yang bertumbuh sehingga dapat berinvestasi untuk ikut mendorong pertumbuhan ekonomi nasional," imbuhnya.

 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini