TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen menuai banyak tentangan dari berbagai kalangan.
Adapun menaikkan PPN dari 11 persen menjadi 12% pada 1 Januari 2025 didasarkan pada UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat mengatakan, kenaikan PPN bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara, yang diproyeksikan menambah sekitar Rp100 triliun per tahun dari sektor pajak konsumsi.
Namun, kenaikan ini diperkirakan dapat meningkatkan inflasi hingga 0,5% pada tahun pertama implementasi, terutama berdampak pada harga kebutuhan pokok dan barang lainnya.
Baca juga: Duduk Perkara Kenaikan PPN 12 Persen Menurut Ketua Banggar DPR
"Ada beberapa opsi lain daripada menaikan PPN 12 persen, hanya saja opsi ini membutuhkan kerja ekstra dari para policy makers dan ketekunan ekstra," ujar Achmad kepada Tribun, dikutip Selasa (24/12/2024).
Pertama, optimalisasi pajak digital.
Ia menyebut, perkembangan ekonomi digital di Indonesia sangat pesat, tetapi penerimaan pajak dari sektor ini masih belum maksimal.
Pada 2023, sektor ekonomi digital Indonesia diproyeksikan mencapai nilai transaksi sebesar USD 77 miliar, dan angka ini terus meningkat setiap tahun.
Namun, kontribusi pajak dari sektor ini masih berada di bawah 5?ri total penerimaan pajak.
Menurutnya, pemerintah perlu memperbaiki mekanisme pemungutan pajak dari platform digital, termasuk e-commerce, layanan streaming, aplikasi ride-hailing, dan marketplace daring.
"Salah satu langkah yang dapat diambil adalah peningkatan pengawasan dan penegakan aturan terhadap perusahaan digital asing yang beroperasi di Indonesia," ujarnya.
Ia mencontohkan, banyak perusahaan digital global masih belum terdaftar sebagai wajib pajak resmi di Indonesia, sehingga pemerintah kehilangan potensi penerimaan pajak yang signifikan.
"Potensi penerimaan dari pajak digital ini sangat besar. Jika pemerintah dapat mengenakan pajak yang adil pada transaksi digital, termasuk pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh) untuk pelaku usaha digital, penerimaan negara dari sektor ini diperkirakan dapat mencapai tambahan Rp70-100 triliun per tahun," papar Achmad.
Sebagai perbandingan, kata Achmad, negara seperti Inggris telah mengimplementasikan pajak digital khusus yang dikenal sebagai "Digital Services Tax" (DST).
Pajak ini menetapkan tarif sebesar 2% untuk pendapatan perusahaan teknologi dari pengguna domestik.
Dalam tahun pertama penerapannya, DST Inggris berhasil mengumpulkan lebih dari USD 700 juta.
Sementara itu, Prancis juga telah memberlakukan pajak digital serupa dengan tarif 3%, yang menyasar raksasa teknologi seperti Google, Amazon, dan Facebook.
"Indonesia dapat mempelajari model ini dan menyesuaikannya dengan kondisi lokal," ucapnya.
Selain itu, pemerintah Indonesia juga bisa memperkenalkan skema kerja sama dengan platform digital untuk mempermudah pelaporan dan pemungutan pajak.
Contohnya, Korea Selatan menggunakan integrasi data waktu nyata antara platform e-commerce dan otoritas pajak untuk memastikan semua transaksi tercatat secara akurat.
Model seperti ini dapat diterapkan di Indonesia untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas.
Dengan optimalisasi kebijakan pajak digital, Achmad menyebut, pemerintah tidak hanya dapat meningkatkan penerimaan negara secara signifikan, tetapi juga menciptakan iklim persaingan yang lebih adil bagi pelaku usaha lokal dan global.
"Langkah ini juga mengurangi ketergantungan pada pajak konsumsi tradisional yang membebani masyarakat umum," ucapnya.
Langkah, kedua yaitu reformasi pajak penghasilan (PPh) untuk golongan atas.
Menurutnya, pemerintah dapat mengevaluasi ulang struktur Pajak Penghasilan (PPh) bagi golongan masyarakat berpenghasilan tinggi.
Pengenaan tarif yang lebih progresif pada kelompok super kaya akan menciptakan penerimaan tambahan tanpa berdampak langsung pada mayoritas masyarakat.
Perkenalan pajak kekayaan (wealth tax) terhadap aset juga memberikan suasana pemerataan kepada mereka super kaya.
Pendekatan ini juga lebih adil karena mendistribusikan beban pajak sesuai dengan kemampuan ekonomi individu.
Ketiga, kata Achmad, perbaikan tata kelola pemungutan PPN.
Ia menyampaikan, pemerintah harus fokus pada perbaikan tata kelola pemungutan PPN sebesar 11% yang sudah ada saat ini.
"Dengan menutup celah kebocoran pajak, meningkatkan pengawasan, dan memperkuat sistem teknologi informasi perpajakan, potensi tambahan penerimaan bisa mencapai Rp50-75 triliun per tahun tanpa harus menaikkan tarif," paparnya.
Keempat, evaluasi paket bebas pajak untuk investasi pertambangan dan hilirisasi.
Menurutnya, kebijakan pembebasan pajak untuk sektor pertambangan dan hilirisasi perlu dievaluasi ulang.
Ia menilai, peninjauan insentif yang kurang efektif dapat memberikan tambahan penerimaan hingga Rp30 triliun per tahun jika difokuskan pada investasi yang lebih produktif dan berkelanjutan.
Kelima, efisiensi belanja negara.
Selain meningkatkan penerimaan, Achmad menyampaikan, pemerintah perlu melakukan efisiensi pada belanja negara. Evaluasi terhadap program-program yang tidak produktif atau memiliki tingkat kebocoran tinggi harus menjadi prioritas.
Dana yang dihemat dari efisiensi ini dapat dialihkan untuk menutupi kebutuhan anggaran tanpa harus membebani masyarakat.
Keeman, pengembangan ekonomi hijau.
Investasi pada sektor ekonomi hijau, seperti energi terbarukan dan pengelolaan limbah, memiliki potensi untuk meningkatkan pendapatan negara melalui inovasi dan insentif baru.
Pemerintah dapat memperkenalkan kebijakan pajak karbon yang adil, yang tidak hanya meningkatkan penerimaan negara tetapi juga mendorong keberlanjutan lingkungan.
"Menunda kenaikan PPN dan mengeksplorasi alternatif lain yang lebih inovatif adalah langkah yang diperlukan untuk menjaga daya beli masyarakat, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan memperkuat kepercayaan publik," tutur Achmad.