Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah Republik Indonesia memberikan bantuan sosial atau bansos bagi masyarakat, khususnya kelompok miskin dan pekerja informal yang pendapatan terdampak pandemi virus corona atau Covid-19.
Bantuan diberikan dalam bentuk sembako, tunai.
Baca: Banyak PHK dan Bansos Belum Tersalurkan, Pemprov Sumut Tak Berdaya Tekan Penyebaran Covid-19
Ada juga yang dikombinasi dengan pelatihan itu untuk menjadi penyanggah daya beli masyarakat di tengah penurunan ekonomi akibat Covid-19.
Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, Haris Azhar, menilai mekanisme pemberian bansos salah konsep.
"Bansos itu salah konsep. Ini (bansos,-red) isi apa? Budget itu turunan atau upaya mengejewantahkan. Mereka berhak untuk mendapatkan hak tersebut," kata Haris, di sesi diskusi “Melindungi Demokrasi di Saat Bencana”, Senin (11/5/2020),
Menurut dia, bansos itu diberikan dari hasil pembayaran pajak warga.
Namun, kata dia, seolah-olah dikemas dengan cara seorang pejabat turun ke masyarakat membagi-bagikan sumbangan.
"Mempersonifikasi diri sebagai dermawan. Padahal yang dibagi duit rakyat. Itu hak asasi orang dibungkus sebagai sedekah penguasa kepada rakyat," tuturnya.
Sementara itu, pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, mengatakan bansos harus dilihat sebagai kewajiban pemerintah memenuhi hak asasi manusia (HAM) warga.
Dia menilai kebijakan pemerintah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tidak efisien bukan karena orang yang melanggar atau tidak.
Baca: Pakar Hukum: Sudah Waktunya Pelanggar PSBB Diberi Sanksi Tegas
Namun, dia menambahkan, pelanggaran itu terjadi karena pemerintah tidak memenuhi hak kesejahteraan.
"Maka PSBB tidak efektif. Kalau bicara bagaimana memenuhi hak ekonomi. Pertama social security net (bantuan pemerintah,-red). Kedua, tindakan aktif pemerintah untuk mengontrol semua entitas yang ada dalam konteks pandemi," tambahnya.