TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, menyebut sosok Sabam Sirait sebagai literatur demokrasi, Hak Asasi Manusia (HAM), kebhinekaan dan keadilan yang patut dipelajari dan diteladani.
LaNyalla menyampaikan itu saat memberikan sambutan secara virtual pada diskusi publik GMKI dengan tema ‘Sabam Sirait dalam Berjuang bagi Demokrasi dan HAM di Indonesia’, Senin (28/3/2022).
"Di sini kita hadir untuk mengenang perjalanan hidup dan darma bakti mantan Anggota DPD RI, Bapak Sabam Sirait, seorang tokoh bangsa yang banyak jasanya bagi pembangunan demokrasi, penegakan hak asasi manusia dan keadilan, serta pelestarian nilai-nilai kebhinekaan bagi keutuhan bangsa ini," kata LaNyalla, yang diwakili Ketua Komite III yang juga Senator DKI Jakarta, Sylviana Murni.
Senator asal Jawa Timur itu mengatakan, Sabam Sirait memiliki perjalanan karier politik yang panjang selama 63 tahun, melintasi masa jabatan tujuh Presiden, melewati pergolakan dan perubahan dalam sejarah bangsa, sampai beliau pergi untuk selamanya di usia 85 tahun.
LaNyalla lalu mengutip pernyataan Jenderal Amerika, Douglas McArthur, yang mengatakan, "Old soldiers never die; they just fade away", atau veteran sejati tak pernah mati; mereka hanya menghilang.
"Mereka menghilang untuk masuk ke dalam ingatan, tapi semangat mereka tak pernah mati. Seperti itu Sabam Sirait di hati saya," papar LaNyalla.
Bukan tanpa alasan LaNyalla mengatakan jika Sabam Sirait merupakan literatur demokrasi, HAM, kebhinekaan dan keadilan. Dikisahkannya, ketika Panglima ABRI mengadakan rapat tertutup membahas kewenangan menumpas G30S PKI, hadir di sana politisi muda bernama Sabam Sirait sebagai wakil dari Parkindo.
Di masa itu tidak ada orang yang berani berbicara tentang demokrasi. Tapi, Sabam mengusulkan agar perlu melibatkan berbagai komponen masyarakat dalam memberantas PKI.
Menurut LaNyalla, ada dua hal dalam pikiran Sabam Sirait, yang ketika itu baru berusia 29 tahun. Pertama, menyelesaikan persoalan harus secara demokratis. Kedua, dalam kondisi seperti itu pun, hak asasi manusia perlu dipertimbangkan. Sikap seperti itu menurut LaNyalla memang terlampau berani dan nekat di masa itu. Sebab, bisa saja dianggap melawan tentara yang sedang marah.
"Tapi Sabam konsisten dengan pendapatnya, meskipun ditentang semua orang. Sekarang baru kita mengerti, betapa pentingnya penegakan demokrasi dan hak asasi manusia untuk mencegah kesewenang-wenangan kekuasaan," ujarnya.
Berangkat dari cerita tersebut, LaNyalla menyebut Sabam Sirait meninggalkan tiga keteladanan yaitu berpikir demokratis, peduli hak asasi dan konsistensi sikap dalam berpolitik. Dan ketiga prinsipnya itu ia pertahankan selama 63 tahun berkiprah di dunia politik Indonesia.
LaNyalla juga menyebut Sabam Sirait sebagai literatur kebhinekaan. Satu contoh yang masih segar dalam ingatan LaNyalla, ketika terjadi penyerangan pasukan Israel terhadap warga sipil di Palestina. Sabam berdiri di atas mobil komando, di antara ribuan demonstran dari Partai Keadilan Sejahtera yang memadati jalan-jalan di Jakarta.
"Dengan suara menggelegar, meskipun serak-serak termakan usia, Sabam menyerukan penarikan mundur pasukan Israel dari wilayah Palestina, demi keadilan dan nasib warga Palestina yang teraniaya tanpa pertolongan selama puluhan tahun," ujar LaNyalla.
Di atas mobil komando itu, Sabam berdiri sebagai satu-satunya demonstran tertua yang semangat juangnya tak mengenal usia. Dan, dia satu-satunya demonstran di situ yang berasal dari dan mencerminkan sikap GMKI.
Sabam sedang menunjukkan kepada bangsa ini, sekaligus menorehkan legacy-nya dalam literatur politik kebhinekaan, bahwa perjuangan menegakkan keadilan dan hak asasi manusia tidak mengenal sekat-sekat rasial, etnis, agama, kelompok atau tembok kepentingan apa pun. Itulah nilai kebhinekaan yang mulia, yang patut kita teladani.
"GMKI wajib membudayakan sikap itu. Sabam Sirait adalah Negarawan dan pantas diberi gelar sebagai Pahlawan Nasional. Perjuangannya dalam menegakkan demokrasi dan hak asasi manusia yang dibingkai dengan hati yang tulus dan melintasi semua kelompok kepentingan, terpatri selamanya dalam hati bangsa ini," ucap LaNyalla.
Dikatakannya, Sabam memberikan keteladanan tentang bagaimana seharusnya seorang politisi yang berlatar belakang Kristiani semestinya berposisi dan bersikap di tengah pluralitas bangsa ini, duduk bersama dengan semua golongan, berdiri bagi kepentingan bangsa, meskipun berjalan di jalur partai politik, yaitu Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan.
"Sikap Negarawan seperti itu jarang kita temukan di masa sekarang. Kita sekarang memiliki terlalu banyak politisi, tetapi terlalu sedikit Negarawan. Terlalu banyak leaders, tapi terlalu sedikit leadership untuk memperbaiki sistem dan praktik penyelenggaraan negara yang semakin mencemaskan, akibat politik oligarki yang sudah seharusnya diberantas," papar LaNyalla.
LaNyalla juga menjelaskan alasannya menyebut Sabam Sirait sebagai literatur keadilan. Di masa rezim Orde Baru, LaNyalla menerangkan, jarang ada politisi yang berani bersuara lantang melawan praktik-praktik monopoli. Karena penguasa akan tersinggung dan orang yang menyuarakan hal itu bisa dianggap menentang pemerintah dengan dalih anti-pembangunan.
"Sabam Gunung Panangian Sirait adalah pengecualiannya. Ia adalah tokoh sentral yang memprakarsai lahirnya Undang-Undang Anti-Monopoli, meskipun untuk memuluskan lahirnya undang-undang itu, Sabam harus berdebat selama berjam-jam dengan para menteri di masa itu," beber LaNyalla.(*)