TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Konferensi World e-Parliament Conference 2016 yang diselenggarakan pada 28-30 Juni 2016 di Valparaiso, Chile dihadiri oleh Wakil Ketua Badan Kerjasama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI Tantowi Yahya dan Anggota BKSAP Sarwobudi Wiryanti Sukamdani.
Dalam konferensi tersebut, Tantowi Yahya (F-Golkar) menyampaikan, digitalisasi telah mengubah banyak pekerjaan di parlemen dan Indonesia saat ini telah terintegrasi secara Information and Communication Technologies (ICT).
“Yakni sebanyak 226 juta jiwa dari 250 juta penduduk adalah pengguna gadget dan lebih dari 80 juta jiwa adalah pengguna aktif media sosial,” ujar Tantowi.
Meksipun begitu, Tantowi menjelaskan bahwa masyarakat lebih banyak menerima informasi soal parlemen melalui televisi.
“Namun masyarakat lebih banyak menerima informasi tentang kegiatan dan hasil pekerjaan parlemen melalui pemberitaan televisi dan informasi antar anggota parlemen dengan konstituennya yang masih didominasi oleh email dan aplikasi Whatsapp,” sambungnya.
Selain itu, Tantowi juga menyampaikan bahwa Indonesia sejak tahun 2008 telah mengesahkan Undang-Undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Undang-Undang No 24 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
“UU Keterbukaan Informasi Publik guna menjamin masyarakat untuk mendapatkan informasi atas kegiatan-kegiatan yang didanai oleh anggaran negara, kecuali informasi yang masuk dalam kategori keamanan militer,” papar Tantowi.
“Pada saat yang sama, UU Informasi dan Transaksi Elektronik menuntut masyarakat untuk menggunakan ICT secara bertanggungjawab dengan konsekuensi tuntutan penjara terhadap oknum penyalahgunaan ICT,” sambungnya.
Saat konferensi berlangsung, Sarwobudi Wiryanti Sukamdani (F-PDIP) juga menyampaikan tuntutan kemampuan parlemen dalam pembuatan legislasi yang memenuhi kebutuhan ICT di masa mendatang .
“Saat ini tuntutan parlemen dalam tugas legislasi untuk memenuhi kebutuhan ICT di masa mendatang, contohnya kasus transportasi online Uber yang hingga kini belum ada UU yang dapat melindungi perusahaan, pengemudi serta masyarakat pengguna (customer),” papar Sarwobudi.
Sebagaimana diketahui, World e-Parliament Conference pertama kali diselenggarakan tahun 2007 yang diselenggarakan tiap dua tahun sekali.
Dalam pelaksanaannya, World e-Parliament Conference 2016 dihadiri sekitar 200 peserta dari 60 negara anggota Inter-Parliamentary Union (IPU) yang terdiri dari anggota parlemen, staf parlemen, pakar dan praktisi IT, LSM serta organisasi-organisasi pengawas parlemen.
Implementasi ICT di parlemen merupakan tuntutan jaman yang saat ini sudah tidak dapat dihindari lagi guna membentuk parlemen sebagai lembaga demokrasi yang kuat dan memastikan bahwa tidak ada satupun rakyat yang tertinggal dalam proses demokrasi.
Tujuan utama pelaksanaan World e-Parliament Conference 2016 adalah peluncuran World e-Parliament Report 2016 dan membahas temuan-temuan penting dari laporan tersebut dari sisi kebijakan maupun sisi teknis.
Selama Konferensi, peserta diarahkan saling bertukar pengalaman tentang bagaimana ICT dapat meningkatkan keterwakilan dalam pembuatan UU dan pengawasan (law-making and oversight), serta dapat mendorong parlemen untuk meningkatkan keterbukaan (openness), kemudahan akses masuk (accessibility), pertanggungjawaban (accountability) dan efektifitas (effectiveness).
Selama konferensi, masing-masing peserta diharapkan juga berpartisipasi aktif melalui penggunaan media sosial (twitter, facebook, instagram), aplikasi innovation board, livestreaming, dan online direct voting.
Pada akhir konferensi, forum menghasilkan rekomendasi Strategic Planning untuk dua tahun mendatang.
Bersamaan dengan konferensi tersebut, juga diselenggarakan The 1st Global Legislative Hackathon 2016 yang merupakan pertemuan pertama dari para hacker dalam rangka mengembangkan solusi inovatif atau visualisasi data menggunakan open data legislasi yang tersedia dan mengembangkan lebih jauh open source tool yang ada sekarang.
Pertemuan tersebut menghasilkan rekomendasi untuk pengembangan ICT di parlemen. (Pemberitaan DPR RI).