TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Proses penyelidikan peredaran vaksin palsu ditanggapi oleh Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf agar pemerintah mengambil alih kepanikan masyarakat akibat peredaran vaksin palsu.
“Kita hormati sikap pemerintah, kita minta pemerintah melakukan sesuai prosedur yang ada untuk meredam kepanikan yang terjadi. Masyarakat boleh panik tetapi negara tidak boleh panik. Negara harus punya langkah-langkah pasti untuk mengantisipasi,” tegas Dede di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (20/07/2016).
Lebih lanjut Dede mengatakan saat ini sudah dibuat crisis center yang bertujuan memberikan informasi baik untuk masyarakat dan pihak rumah sakit.
Artinya semua pengetahuan yang dimiliki pihak terkait harus ada disitu untuk menjawab keresahan masyarakat terkait vaksin palsu.
“Crisis center ini akan dibuat di pusat dan di daerah-daerah yang terduga terkena vaksin palsu. Dibukanya crisis center guna meredam dan menjadi filter bagi masyarakat yang saat ini panik dan kebingungan, harus melakukan apa dan bagaimana,”paparnya.
Politisi Partai Demokrat ini juga mengatakan perlu adanya Official Letter, dari Kementerian Keseahatan, BPOM atau Ikatan Dokter Anak Indoneisa (IDAI) untuk mengetahui bahaya atau tidak dampak vaksin palsu terhadap tubuh korban.
Dia juga mangatakan, kejadian ini merupakan catatan untuk Badan POM, memang dalam pengawasannya hanya bisa di ranah publik, tidak bisa menelusuri dan menangkap.
Maka kedepan Komisi IX akan membuat RUU untuk memperkuat kinerja BPOM.
“Dalam fungsi pengawasan BPOM memang tidak bisa melakukan pengawasan terhadap hal-hal yang illegal. BPOM tidak bisa menelusuri dan menangkap, hanya bisa di ranah publik. Kalau dibilang lalai pasti juga karena mengetahui tetapi tidak berbuat apa-apa,”katanya.
Ditegaskan Dede, BPOM seharusnya tidak menyerah, karena itu diusulkan untuk ditambah kewenangan.
“Masyarakat saja bisa meminta DPR untuk membuat UU, masa BPOM tidak berani. Jangan hanya nyantel di Kepres ataupun di UU Kesehatan,”tegasnya
Diketahui sejak tahun 2003 sampai tahun 2014 pengawasan hanya dilakukan oleh BPOM, tetapi setelah tahun 2014 keluar Permenkes 85,35 dan 30 yang menyatakan bahwa Rumah Sakit dan klinik bisa memperoleh obat langsung dari pedagang besar farmasi dan distributor.
Namun sayangnya fungsi pengawasan tersebut tidak berjalan, oleh karena itu yang harus bertanggungjawab dalam masalah ini adalah pemerintah, yakni BPOM dan Kementerian Kesehatan. (Pemberitaan DPR RI)