TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Masih banyaknya dosen lulusan S-1 yang mengajar di saat syarat minimal dosen harusnya lulusan S-2 menimbulkan keprihatinan dari Anggota Komisi X DPR Marlinda Irwanti.
“Saya sangat prihatin setelah mengetahui jumlah dosen yang ada sekitar 230 ribu lulusan S-1, sedangkan lulusan S-2 sekitar 120 ribu. Ini berarti jumlah dosen S-2 belum mencapai 50 persen. Padahal UU dan PP sudah menetapkan syarat minimal dosen mengajar di Perguruan Tinggi tahun 2017 harus lulusan S-2,”ujarnya.
Hal itu disampaikan Marlinda disela-sela Rapat Dengar Pendapat (RDP) Panitia Kerja (Panja) beasiswa pendidikan tinggi dengan Kementerian Ristek Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (8/9/2016).
Terkait hal ini, politisi F-Golkar menanyakan bagaimana target dibuat Kemenristek Dikti ketika semua dosen S-1 harus S-2 seperti tertulis di peraturan tahun 2017 merupakan permasalahan yang sangat mendasar.
“Nah ini harusnya ditargetkan Kemenristek Dikti melalui dananya. Makanya Panja hari ini sebenarnya ingin melihat bentuk anggarannya. Jangan berbicara anggaran dulu. Kita bicara pola, sistem yang dibangun, bagaimana target yang dilakukan untuk bisa menyelesaikan permasalahan dosen,” tegasnya.
Lebih lanjut Merlinda mengatakan belum lagi berbicara terkait sertifikasi dosen yang baru 100 ribu, padahal kalau mau bersaing dengan negara lain apalagi sudah masuk Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) para dosen ini harus mempunyai sertifikasi dosen.
“Dosen tidak bisa disebut dosen kalau tidak memiliki sertifikasi, dan ini tanggung jawab pemerintah sesuai target 2017, sekitar 230 ribu dosen harus sudah sertifikasi. Nah hari ini kita bicara target mereka untuk bisa menyelesaikan masalah-masalah seperti itu. Apa programnya kemudian bagaimana indikator-indikator pengukuran untuk bisa mencapai target baru kita bicara dana,”tuturnya.
“Jadi jangan dibalik mereka minta dana dulu tetapi kita tidak tahu yang dibangun seperti apa, minimal dia harus punya target jadi kita tidak bicara lagi nanti 2018 mengenai sertifikasi dan dosen S-2. Sampai kapan negeri ini selesai untuk membangun,”lanjutnya.
Selain itu Politisi Dapil Jawa Tengah X juga berbicara soal beasiswa.
Ia menanyakan mengapa anak-anak kita lebih menyukai beasiswa dibawah Kemenkeu LPDP dibanding yang dibuat Kemenristek Dikti padahal dananya sama-sama dari RAPBN.
“Artinya pola kerja dan sistem yang dibangun belum benar, makaya kita ingin dibetulkan dulu sistemnya, polanya, indikatornya dalam memilih seseorang mendapatkan beasiswa baru bicara dananya. Kita dengarkan dulu mereka bagaimana membangun pola dan sistem untuk menyelesaikan permasalahn dosen dan beasiswa untuk mahasiswa baru bicara anggaran karena masalah kita ini big data kita tidak jelas,”pungkasnya.
“Saya dapat laporan kalau beasiswa LPDP sistem dan pola yang dibangun bagus sehingga mereka tidak pernah terlambat, lebih terjamin padahal mereka diluar negeri. Sedangkan, Kemenristek Dikti yang memiliki beasiswa di dalam dan juga kementerian lain, terlambat memberi dana bagi penelitian,bulanan, buku dan lain-lain. Masih banyak keterlambatan yang terjadi padahal anggarannya s RAPBN, artinya pola kerja dan sistem yang dibangun belum benar makanya kita ingin dibetulkan dulu sistemnya polanya indikatornya untuk memilih seseorang mendapatkan beasiswa baru bicara dananya,”tambahnya. (Pemberitaan DPR RI)