TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi VIII DPR Achmad Mustaqim dan rombongan, berkesempatan berdialog dengan Amirul Haj Irak.
Achmad selaku anggota Tim Pengawas Haji Tahap II tahun 2105 lalu, membahas tentang kuota haji selama hampir sejam.
Dalam keterangannya di Jakarta, Senin (19/9) politisi FPP ini menjelaskan, pada pertemuan itu dihasilkan informasi bahwa yang memutuskan masalah kuota haji bukan saja negara Arab, tetapi terlibat juga Organisasi Negara Islam (OKI).
Betul bahwa pemilik utama kuota haji adalah Pemerintah Kerajaan Arab Saudi, tetapi indeks pembagian dilakukan Sidang OKI yang kemudian dikordinasikan dengan Pemerintah Arab Saudi.
Menurut Mustaqim, sampai saat ini dalam menentukan kuota haji masih menggunakan rumus permil dari penduduk beragama Islam di sebuah negara.
Indonesia yang penduduk beragama Islam terbesar di dunia masuk kategori kuota haji terbesar, dibawah itu Irak sekitar 60 ribu dan Malaysia.
Lebih lanjut dikatakan, penambahan kuota haji ada dua kemungkinan yang bisa dilakukan.
Pertama harus sabar hingga pembangunan Masjidil Haram itu selesai sehingga kuota kembali normal.
Kedua melalui diplomasi.
Berdasarkan informasi dari teman di Malaysia, juga sudah ada daftar tunggu hingga 40 tahun sehingga sesama negara Asean seperti Thailand, Myanmar dan Philipina, bila membantu penambahan kuota kepada Indonesia, jumlahnya tidak signifikan.
Oleh karena itu, kita harus bernego selain dengan Pemerintah Arab Saudi, juga dengan OKI.
“Di sinilah letak diplomasi Pemerintah itu diuji. Karena tahun lalu Presiden Jokowi sepulang kunjungan dari Arab Saudi minta tambahan kuota 10 ribu, lalu Menteri Agama juga menyatakan mendapat tambahan kuota 10 ribu, berarti ada tambahan 20 ribu,” jelasnya.
Tetapi kenyataannya, lanjut Mustaqim, tahun 2016 ini sama sekali tidak ada penambahan kuota. Karena itu statemen-statemen seperti ini tidak etis dan perlu dihindari.
“Perlu lebih hati-hati dalam membuat statemen, sebab masalah ini sangat sensitif,” tegasnya lagi.
Selain itu, kata politisi dari Dapil Jateng VIII ini, Pemerintah perlu mengusahakan penambahan kuota khusus yang bersifat G-to-G artinya menggunakan visa undangan dari Kerajaan yang kemudian dikonversi.
“Ini agak rumit tetapi sebagai salah satu kemungkinan, bisa dilakukan,” ia menambahkan. (Pemberitaan DPR RI)