TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penolakan masif dari beberapa stakeholder yang menilai program Kementerian Riset dan Teknologi Pendidikan Tinggi tidak efisien, membuat Badan Legislasi (Baleg) DPR RI menghimbau Kementerian Riset dan Teknologi Pendidikan Tinggi bersama Kementerian Kesehatan untuk menunda program studi Dokter Layanan Primer (DLP).
"Kami hanya bisa menghimbau khususnya kepada Kementerian Kesehatan dalam melaksanakan Undang-undang, jangan tergesa-gesa, DLP ditahan dulu,"ungkap Wakil Ketua Baleg Totok Daryanto.
Hal itu disampaikan saat Rapat Dengar Pendapat Bersama Dirjen Kemenristekdikti, Kemenkes beserta ke-34 Ketua Wilayah Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI) di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (27/09/2016).
Politisi F-PAN itu berpandangan pemerintah seharusnya telah mengkaji ulang program DLP yang tertuang di UU Dikdok.
"Dari seluruh informasi yang kita tangkap di sini, saya belum mendengar satupun yang setuju dilaksanakannya DLP. Kalau itu terjadi, tidak perlu dianalisa lebih jauh karena ada masalah di UU itu,"tegas Totok.
Seperti diketahui, Program studi Dokter Layanan Primer merupakan pendidikan kedokteran lanjutan dari program profesi dokter yang setara jenjang spesialis sesuai amanat Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran (Dikdok).
Kepada Baleg, pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengatakan dokter layanan primer menyebabkan beberapa kontroversi.
Setidaknya ada beberapa alasan utama IDI menolak program pemerintah tersebut.
DLP dinilai akan memberatkan calon dokter, disamping biaya pendidikan kedokteran yang relatif mahal, DLP hanya akan menambah jalan panjang pendidikan dokter selama 3 tahun lagi.
Padahal, untuk bisa berpraktik mandiri dengan Surat Tanda Registrasi (STR) definitif sebagai dokter diperlukan waktu minimum 8 tahun.
“Selain termahal, pendidikan dokter adalah pendidikan terpanjang di Indonesia, membutuhkan paling kurang 8 tahun untuk lulus, kalau orang itu cerdas dan bernasib baik. Dari antara 100 calon dokter, yang bisa tembus 8 tahun hanya 1 sampai 2 orang,” ungkap Abdul Razak Thaha Ketua Dewan Pakar PB-IDI.
Selain itu, UU Dikdok berpotensi menyebabkan konflik horizontal antara DLP dan Non-DLP pada ranah pelayanan primer.
Sebab, tidak ada perbedaan signifikan antara kompetensi Dokter Layanan Primer (DLP) dengan kompetensi pendidikan dokter yang tercantum dalam Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI).
Untuk itu, IDI mengusulkan dilakukan revisi atas UU Dikdok dan meminta kepada pemerintah agar menghentinkan pembahasan substansi DLP dan berbagai kegiatan termasuk rekrutmen terkait persiapan program studi DLP.
Menanggapi hal tersebut, Totok mengatakan Baleg mendalami permasalahan tersebut dan akan segera membentuk Panitia Kerja (Panja) pemantauan dan peninjauan UU Dikdok.
“Jika suatu UU mendapatkan penolakan yang cukup beralasan, maka kita akan melakukan perubahan-perubahan. Apalagi melihat penolakan dari organisasi-organisasi yang menanungi dokter begitu besar,” imbuhnya.
Sebelumnya, Badan Legislasi juga menerima Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI) yang menyerukan hal yang sama. (Pemberitaan DPR RI)