TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Konflik sosial akibat Pilkada serentak 2017 harus diantisipasi sejak dini.
Pilkada tahun 2017 butuh perhatian serius oleh Polri, DPR dan Pemerintah. Pilkada memiliki daya tarik yang menarik untuk dicermati.
Ada 101 daerah yang akan menggelar Pilkada pada 2017, yang terdiri dari 7 provinsi, 76 kabupaten, dan 18 kota.
Hanya saja, Pilkada di DKI Jakarta kerap menenggelamkan perhatian publik pada kontenstasi Pilkada di daerah lain.
Inilah yang mengemuka dalam workshop bertajuk Pilkada Serentak 2017 ‘Berbagi Permasalahan dan Solusi’ yang digelar Badan Keahlian Dewan DPR RI, Kamis (29/9/2016).
Hadir sebagai pembicara Ketua Komisi II DPR Rambe Kamarulzaman, Komisioner KPU Hasyim Asy’ari, dan Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini.
Menurut Rambe, ada banyak isu krusial yang menyertai revisi UU Pilkada, diantaranya antisipasi calon tunggal, persoalan dinasti politik, dan pembatasan dana kampanye.
Biaya kampanye Pilkada sekarang, kata Rambe, lebih mahal dari Pilkada sebelumnya.
Untuk itu, perlu diatur tentang biaya kampanye dengan lebih jelas. Belum lagi, perlu ada aturan yang menegaskan tentang konflik partai.
Ini semua untuk menjaga stabilitas Pilkada yang dihelat secara massal pada 2017. Sementara menurut Titi, revisi atas UU Pilkada memang butuh perbaikan sungguh-sungguh.
Ada 104 petahana yang kembali bertarung dalam Pilkada, 80 pasangan dari perseorangan, dan 248 pasangan diusung partai politik.
Yang menarik dalam persaingan Pilkada, ujar Titi, justru di Aceh, bukan DKI.
Di Aceh ada 6 bakal calon yang terdiri dari 3 pasang diusung partai politik dan 3 pasang lagi perseorangan.
Mantan kombatan GAM justru pecah kongsi dalam Pilkada di tingkat provinsi ini.
Bahkan, petahananya pun pecah dan saling mencalonkan diri.
Menurut Titi, ada banyak konflik yang mungkin terjadi, selain di Aceh ada juga di Papua.
Penggunaan noken (tas tradisional-red) khas Papua digunakan sebagai kotak suara.
Dalam konsep noken ini, kepala adat di sana sangat menentukan perolehan suara rakyat.
Perludem yang dipimpinnya, sambung Titi, sempat menggugat penggunaan noken dalam Pemilihan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Namun, MK memutuskan bahwa noken adalah ciri khas kedaerahan yang boleh digunakan dalam berdemokrasi.
Persoalan lain adalah politik uang dalam Pilkada yang masih jadi kontroversi.
Ada peraturan KPU yang memboleh penggunaan uang, misalnya untuk makan dan sewa perlengkapan pertemuan.
Namun untuk dana transpor tidak diperkenankan dalam bentuk tunai, melainkan dalam bentuk tiket saja. Persoalan ini masih menyimpan kerawanan politik uang yang sangat tinggi. (Pemberitaan DPR RI)