TRIBUNNEWS.COM - Anggota Komisi IV DPR RI Andi Akmal Pasluddin merasa sangat kecewa dengan keputusan pemerintah yang menghentikan revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati Dan Ekosistemnya.
Seperti diketahui, pada periode kabinet pemerintahan yang baru ini, memutuskan untuk tidak akan memasukkan revisi UU No. 5 Tahun 1990 dalam Prolegnas. Terhadap hal tersebut, Akmal menyatakan akan tetap mendorong agar revisi tetap dilakukan.
Baca: Kemenag Harus Optimalkan Media Digital Untuk Jalankan Fungsi Keagamaan
Akmal menyampaikan, penghentian pembahasan RUU ini terjadi sejak Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) menyampaikan surat kepada Ketua DPR RI dengan surat Nomor S.343/MenLHK/Setjen /Kum.0/5/2019 tertanggal 24 Mei 2019 perihal penyelesaian Rancangan Undang Undang tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, yang intinya mengajukan permohonan untuk kiranya tidak melanjutkan pembahasan RUU tentang KSDAE.
Dikatakannya, Presiden RI yang diwakili oleh otoritas terkait dengan konservasi sumber daya alam yaitu Kementerian LHK, berpandangan bahwa UU 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya tidak perlu direvisi. Bahkan lebih lanjut lagi, sambungnya, pemerintah telah menyurati Ketua DPR RI untuk tidak memasukkan revisi UU 5 tahun 1990 ke dalam Prolegnas 2020-2024.
“Sikap pemerintah menolak revisi UU yang mengatur perihal konservasi ini, tidak dapat diterima akal sehat. UU ini menjadi garda depan dalam perlindungan kawasan konservasi dan ekosistemnya. UU ini telah berjalan sekitar 30 tahun, maka sudah sepantasnya untuk direvisi dengan pertimbangan, banyak perubahan terhadap ekosisitem kita sehingga pembaharuan aturan atau payung hukum perlu juga di selaraskan dengan mempertimbangkan paradigma pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan berbasis masyarakat," tegas Akmal dalam berita rilisnya kepada Parlementaria, Senin (18/11/2019).
Anggota DPR RI asal Sulawesi Selatan itu juga menambahkan beberapa catatan pentingnya revisi atas UU No. 5 Tahun 1990. Ia mencontohkan beberapa kejadian seperti berulang kali tersiar kabar tentang perburuan dan penyelundupan satwa. Keseimbangan ekosistem yang mengganggu dan mengancam punahnya berbagai satwa endemik Indonesia. Dengan berbagai kasus kejahatan konservasi sumber daya alam ini, negara telah dirugikan puluhan triliun.
Sementara itu, lanjut dia, pidana yang mengatur hukum terhadap pelaku kejahatan konservasi hanya berupa penjara 1-10 tahun atau denda Rp 50-200 juta. Ketentuan tersebut sangat rendah, dibandingkan risiko yang akan dihadapi oleh generasi anak cucu di masa yang akan datang.
Berdasarkan Konstitusi UU 1945 pasal 21 disebutkan bahwa anggota DPR RI berhak mengajukan usul rancangan undang-undang. Terkait hal tersebut, Akmal menyatakan akan tetap mengusulkan untuk tetap dilakukan revisi terhadap UU 5 tahun 1990 itu.
Baca: Komisi IX Berjuang Iuran BPJS Tidak Naik
“Kami akan tetap mendorong agar UU No. 5 Tahun 1990, tetap dilakukan revisi dan hak ini dilindungi serta diamanahkan konstitusi. UU ini juga merupakan amanah masyarakat luas, sebagaimana petisi revisi UU 5 tahun 1990 yang telah ditanda tangani lebih dari 320 ribu orang melalui salah satu laman media sosial. Kami yakin, dukungan kepada DPR akan terus semakin besar untuk melanjutkan revisi undang-undang ini. Tinggal kita memperkuat dan meningkatkan kualitas kontent RUU revisinya, dan rakyat akan bersama dengan DPR," pungkas Akmal. (*)