News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Anggota Komisi IX DPR Sayangkan Pembahasan RUU Omnibus Law Tetap Berjalan

Penulis: Endra Kurniawan
Editor: Ayu Miftakhul Husna
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Aliansi Forum Ormas dan Harokah Islam (Formasi) Jawa Barat menggelar unjuk rasa di depan Gedung DPRD Jawa Barat, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Jawa Barat, Jumat (13/3/2020). Dalam aksinya, mereka menolak secara penuh Omnibus Law RUU Cipta Kerja karena dinilai beberapa pasalnya menghilangkan hak-hak rakyat, serta mengabaikan banyak aspek dan hal demi mengutamakan kepentingan pengusaha. Tribun Jabar/Gani Kurniawan

TRIBUNNEWS.COM - Anggota Komisi IX DPR RI, Ribka Tjiptaning menyayangkan sikap DPR RI yang akan terus melanjutkan pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja, di tengah wabah virus corona.

Menurut Ribka, saat ini bukan waktu yang tepat untuk melanjutkan pembahaan rancangan undang-undang tersebut.

“Teman-teman saya di parlemen ini tidak peka terhadap masalah besar yang sedang dihadapi rakyat Indonesia."

"Mereka telah memanfaatkan situasi wabah virus corona untuk segera meng-goal-kan RUU Cipta Kerja menjadi UU,” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima Tribunnews, Senin (13/04/2020).

Ribka memandang tugas terpenting dari DPR saat ini adalah membantu pemerintah untuk melakukan pengawasan terhadap upaya percepatan penanggulangan Covid-19.

Utamanya dalam fungsinya pengawasan sesuai dengan amanat UUD NKRI 1945 pasal 20 A ayat 1.

“Parlemen harus fokus menjalankan fungsi pengawasan kepada pemerintah yang sedang berjibaku mengatasi wabah virus yang mematikan itu."

"Banyak hal yang masih belum optimal dikerjakan pemerintah dan perlu pengawasan parlemen,” tegasnya.

Baca: Soal Omnibus Law Cipta Kerja, Baleg DPR: Kami Terima Penugasan, Kalau Mundur Langgar UU

 Anggota Komisi IX DPR RI, Ribka Tjiptaning (Foto: Oji/od)

Dalam keterangan tertulisnya, Ribka juga menyoroti fasilitas yang minim untuk penyintas pasien cuci darah saat berlangsungnya pandemi Covid-19.

Berdasarkan laporan yang diterimanya dari Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) telah ada dua anggotanya meninggal dunia.

"Satu lagi meninggal setelah delapan hari tidak dilayani cuci darah karena dinyatakan PDP (Pasien Dalam Pengawasan)."

"Alasannya menunggu hasil pemeriksaan apakah positif atau negatif dari covid-19. Tapi, faktanya rumah sakit tidak mempunyai fasilitas hemodialisa di ruang isolasi,” terangnya.

Lebih lanjut, Ribka meminta Satuan Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 untuk segera melengkapi semua rumah sakit rujukan dengan fasilitas hemodialisa di ruang isolasi, seperti protokol yang telah dikeluarkan PENEFRI (Perhimpunan Nefrologi Indonesia).

“Kalau protokol ini tidak dijalankan akan banyak lagi pasien gagal ginjal meninggal dunia karena dinyatakan PDP. Dua pasien gagal ginjal yang meninggal itu hasil tes swab-nya ternyata negatif."

"Mereka meninggal bukan karena terinfeksi virus corona, tetapi tidak mendapat pelayanan cuci darah karena dikategorikan ODP, PDP dan suspect covid-19,” tutupnya.

Baca: Sofyan Djalil: Omnibus Law Cipta Kerja, Solusi Kurangi Tingkat Pengangguran

Komentar KPCDI

Seorang pasien sedang menjalani proses cuci darah di Ruang Instalasi Hemodialisa  (TRIBUN SUMSEL/MA FAJRI)

Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI), Tony Samosir menyesalkan ketidaksiapan rumah sakit rujukan dalam menangani pasien Covid-19, khususnya bagi pasien cuci darah.

Tony menyebut seorang pasien cuci darah bernama Suhantono dinyatakan dengan status PDP (Pasien Dalam Pengawasan) Covid-19 tidak mendapatkan pelayanan maksimal di satu rumah sakit milik pemerintah di Jakarta.

"Di sana pasien dirawat di ruang isolasi. Sayangnya, si pasien tidak segera dilakukan tindakan hemodialisa, harus menunggu hasil apakah pasien positif virus tersebut atau tidak,” ungkap Tony dalam keterangan tertulisnya, Selasa (31/3/2020).

Menurut Tony kalau harus seminggu lagi cuci darah maka nyawa si pasien akan terancam.

Apalagi si pasien sudah beberapa hari tidak melakukan hemodialisa.

“Racun dan cairan sudah menumpuk. Pasien saat ini menderita sekali. Bila nyawanya melayang bukan karena virus corona, tetapi tidak mendapat pelayanan cuci darah"

"Status PDP kan belum tentu positif terinfeksi?” tandas Tony yang juga pasien transplantasi ginjal ini.

Baca: Update Corona Dunia 13 April 2020 Pukul 14.00 WIB: Tembus 1,8 Juta Lebih Kasus, Sembuh 427.806

Tuntut Lengkapi Fasilitas

Tony menjelaskan pihaknya telah mendengar Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) telah mengeluarkan SOP untuk menangani pasien gagal ginjal dalam situasi wabah virus corona ini.

“Kami mendukung langkah pencegahan yang diatur oleh organisasi profesi bila pasien ODP, PDP apalagi suspect virus corona harus dikarantina, dan tidak cuci darah berbarengan dengan pasien lainnya"

"Jadi, tuntutan kami lengkapi semua rumah sakit dengan fasilitas hemodialisa dalam ruang isolasi, terutama rumah sakit rujukan dan termasuk di wisma atlet,” serunya.

Tony memandang, dengan fasilitas hemodialisa tidak tersedia ditambah dengan situasi merebaknya Covid-19 membuat pasien cuci darah rentan.

“Apalagi, pasien cuci darah itu sangat rentan demam karena infeksi benda asing seperti alat kateter dan sesak karena kelebihan cairan” jelasnya lagi.

Dalam situasi krisis ini, Tony juga meminta BPJS Kesehatan tidak melakukan pemutusan kerja sama dengan rumah sakit yang memiliki layanan hemodialisa.

Seperti yang terjadi di satu rumah sakit di Kota Medan telah diputus kerjasamanya dengan BPjS Kesehatan.

"Sekitar 70 pasien cuci darah di sana kebingungan karena rumah sakit lainnya sudah melakukan kebijakan tidak menerima lagi pasien dari luar, dalam situasi wabah virus corona"

"Nyawa mereka sekarang terancam karena belum ada solusi yang jelas,” pungkasnya.

(Tribunnews.com/Endra Kurniawan)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini