TRIBUNNEWS.COM - Guna memperluas dan menjaring aspirasi dari pemangku kepentingan dalam penyusunan draft naskah akademik Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT), Pusat Perancangan Undang-Undang (PUU) Sekretariat Jenderal DPR RI menyelenggarakan Webinar dengan tema ‘Urgensi Pembentukan RUU Energi Baru dan Terbarukan’.
Hadir sebagai keynote speaker dalam acara tersebut, Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto yang menyampaikan paparannya tentang urgensi pembentukan RUU tentang Energi Baru dan Terbarukan.
Sugeng mengatakan, Komisi VII DPR RI menugaskan Pusat Perancang Undang-Undang Setjen DPR RI, Bersama dengan Tenaga Ahli Komisi VII DPR RI untuk melakukan penyusunan draft Naskah Akademik dan RUU tentang Energi Baru dan Terbarukan.
“Kami mengajak semua pihak, terutama pemangku kepentingan terkait Energi Baru dan Terbarukan untuk bersama-sama menaruh harapan positif dalam penyelesaian RUU EBT.
Dalam melakukan penyusunan RUU, Komisi VII DPR RI melibatkan pemangku kepentingan untuk memberikan masukan, pendapat, saran, dan pemikirannya guna memperkaya khasanah substansi RUU, sehingga dapat diperoleh hasil yang optimal,” ucap Sugeng, di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (28/9/2020).
Ia juga menyatakan bahwa Komisi VII DPR RI membuka diri terhadap semua elemen masyarakat yang ingin menyampaikan aspirasinya. “Komisi VII DPR RI mengajak semua pihak yang peduli terhadap energi bersih, energi baru dan terbarukan untuk melakukan sosialisasi secara massif tentang energi terbarukan kepada semua lapisan masyarakat, pengambil kebijakan, pelaku usaha, perbankan,dan lain-lainnya,” ujarnya.
Dalam kesempatan itu Sugeng menjelaskan, paradigma Kebijakan Energi Nasional (KEN) menyebutkan bahwa energi dimanfaatkan untuk modal pembangunan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dengan cara mengoptimalkan pemanfaatannya bagi pembangunan ekonomi nasional, penciptaan nilai tambah di dalam negeri dan penyerapan tenaga kerja.
“Peran energi baru dan terbarukan masih rendah, yaitu sebesar baru mencapai 8 persen, sedangkan target pada tahun 2025 adalah sebesar 23 persen. Untuk kondisi saat ini, energi terbarukan merupakan kebutuhan dalam rangka menjaga lingkungan dan keberlangsungan kehidupan. Oleh karenanya perlu adanya payung hukum yang kuat (Undang-Undang) untuk mengakselerasi pengembangan energi baru dan terbarukan di Indonesia,” tuturnya.
Dikatakannya, harga energi yang fluktuatif akan berdampak terhadap kebijakan yang perlu penyesuaian dengan cepat. “Apabila hal ini tidak dilakukan maka berdampak pada terbelenggunya kebijakan yang dibuat dan menimbulkan keresahan dimasyarakat,” kata Sugeng.
Beberapa narasumber yang ikut berpartisipasi dalam acara webinar tersebut yakni Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) F.X. Sutijastoto, Ketua Prakarsa Jaringan Cerdas Indonesia (PJCI) Ikhsan Asaaad, dan Pusat Studi Energi (PSE) Universitas Gajah Mada (UGM) Irine Handika. (*)