TRIBUNNEWS.COM - Anggota Komisi VI DPR RI Rafli menilai keputusan pemerintah untuk mengimpor beras sangat kontraproduktif dengan rencana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), bahkan bertolak belakang dengan Program Strategis Nasional (PSN) Food Estate yang pernah digaungkan Presiden Joko Widodo.
Menurutnya, dengan sumber daya alam yang melimpah, adanya agenda impor beras jelang panen raya membuat banyak orang sedih.
“Kita ketahui Indonesia pernah swasembada beras, jika saat ini pemerintah melakukan impor beras, berarti ada yang keliru dengan kebijakan. Hal ini bertolak belakang dengan program strategis nasional food estate menuju swasembada pangan yang dicanangkan Presiden Jokowi serta kontra dengan rencana PEN di tengah pandemi,” ujar Rafli dalam keterangan pers yang diterima Parlementaria, Senin (22/3/2021).
Baca juga: Legislator PDIP Tolak Rencana Impor Beras 1 Juta Ton
Menurut politisi asal Provinsi Aceh tersebut, saat ini stok beras sebenarnya aman. Masalah yang sebenarnya harus diselesaikan yaitu manajemennya. Pembangunan infrastruktur pertanian, teknologi dan edukasi ke petani bisa meningkatkan hasil produksi yang membuat petani sejahtera dan stok nasional akan terpenuhi dangan catatan di pasar juga diawasi.
Rafli menyebutkan, beberapa daerah di Indonesia saat ini hampir memasuki masa panen. Untuk itu, ia meminta pemerintah meninjau dan mengkaji ulang kebijakan impor beras. Sebab sangat berdampak kepada penurunan harga jual hasil panen petani, serta membuat mental petani terus tertekan.
"Ingatan masyarakat kita juga masih segar dengan pesan Presiden Jokowi untuk cinta produk lokal, dan benci produk asing. Jika impor dilakukan, dimana moral kita?” pungkas politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.
Baca juga: Dirut Bulog, Budi Waseso Ungkap Perintah 2 Menteri Jokowi Impor Beras, Ini Profil dan Kiprahnya
Berdasarkan catatan BPS, pergerakan produksi beras pada 2020 lebih tinggi dari 2019. BPS juga merilis potensi peningkatan produksi padi pada 2021, yaitu sub-round Januari-April 2021 sebesar 25,37 juta ton GKG, mengalami kenaikan sebanyak 5,37 juta ton atau 26,88 persen dibandingkan sub-round yang sama pada tahun 2020 sebesar 19,99 juta ton GKG.
“Miris, jika ada yang mencari keuntungan di tengah penderitaan rakyat yang hidup dari hasil pertanian, bahkan ini mencederai cita-cita swasembada pangan,” tutup Rafli. (*)