TRIBUNNEWS.COM - Kenaikan harga beras sepekan terakhir yang merata di berbagai daerah mendapat tanggapan dari Anggota Komisi IV DPR RI, Andi Akmal Pasluddin, yang meminta pemerintah bertindak cepat untuk mengendalikan harganya jangan sampai berlarut-larut karena ini merupakan kebutuhan mendasar pangan rakyat.
“Saya mendorong, langkah pertama untuk mengendalikan beras, agar pemerintah segera membayar Perum BULOG yang mencapai 4,5 triliun sehingga BULOG dapat segera menjalankan penugasannya sebagai lembaga penyalur beras berupa bansos pemerintah. Dengan Bulog yang menjalankan fungsinya dengan sigap, maka permintaan beras akan semakin dapat dikendalikan terutama permintaan beras medium," tutur Akmal.
Legislator asal Sulawesi Selatan II ini mengatakan, biasanya beras naik disebabkan oleh sudah mulai jarangnya panen raya yang biasanya terjadi bulan Agustus. Saat ini di Januari 2022, memang bukan waktunya panen raya, akan tetapi sudah ada yang panen dan stok di gudang bulog seharusnya dapat mengendalikan harga di pasar.
“Dinamika harga beras, pemerintah mesti dapat mengatasinya meskipun ini hanya hanya efek psikologis sebelum memasuki panen raya. Karena pemain beras utama di negeri ini hanya segelintir, sehingga mudah pemerintah mengendalikan harga beras ini," tukas Akmal.
Politisi PKS ini mengutip data yang ia peroleh, bahwa saat ini, stok di Bulog ada sekitar 985 ribu ton. Bahkan klaim dari Kementerian Pertanian sebagai kementerian teknis, stok beras menunjukkan tren positif.
Data BPS menunjukkan di atas 7 juta ton sampai 9 juta ton stok gabah selama 3 tahun terakhir tersedia. Hal penting yang akan dapat mengendalikan harga beras di berbagai daerah di Indonesia adalah persoalan distribusi.
Akmal menambahkan, meskipun persoalan harga beras ini bukan domain dari kementerian pertanian, mestinya kementerian teknis ini dalam rapat koordinasi terbatas Kemenko perekonomian atau rapat kabinet dapat menyampaikan bahwa saat kondisi pasokan beras di dalam negeri melimpah, sehingga dapat dengan cepat persoalan kenaikan harga beras dapat dikendalikan dengan kebijakan-kebijakan saling terkoordinasi.
“Yang saya khawatirkan ini adalah, ada kebijakan miring berupa membuka kran impor beras medium karena dianggap stok kurang yang menyebabkan harga beras naik. Padahal sebentar lagi panen raya, dan apabila ada opsi impor, ini sangat menyakiti petani beras dalam negeri," kritis Akmal.
Anggota FPKS ini menyampaikan, dengan semua klaim pemerintah bahwa stok beras cukup, tapi kenyataan yang terjadi dilapangan terjadi kenaikan harga beras menyeluruh di seluruh wilayah Indonesia.
Ini artinya, stok milik Perum Bulog belum mampu menahan pergerakan harga beras yang mulai mengalami kenaikan.
“Saya minta jangan sampai harga beras ini seperti minyak goreng yang naik susah turunnya. Pengendalian beras ini semestinya lebih mudah dan pemerintah jangan sampai kalah dengan para pedagang-pedagang besar beras yang bisa seenaknya mengendalikan harga di pasar," tutup Andi Akmal Pasluddin. (*)