TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON - Deborah Peter berusia 12 tahun ketika sejumlah pria bersenjata dari kelompok Boko Haram di Nigeria menyerbu rumahnya di utara negara itu.
Kejadian itu, Bako Haram kemudian menembak mati ayahnya, seorang pendeta Kristen, dan saudara yang berusia 14 tahun, Caleb. Para teroris itu kemudian memaksa dia berbaring bersama mayat ayah dan kakaknya itu.
Dia diserang pada tahun 2011, jauh sebelum penculikan Boko Haram terhadap lebih dari 250 siswi sekolah pada April lalu, yang akhirnya menyedot perhatian dan kecaman internasional.
Deborah berasal dari Chibok, kota kecil yang juga menjadi tempat para gadis remaja itu diculik oleh kelompok teroris tersebut. Boko Haram berarti "pendidikan Barat diharamkan."
"Saya memutuskan untuk menceritakan kepada dunia, kisah saya ketika para gadis Chibok direnggut karena semua orang harus tahu betapa mengerikan Boko Haram itu," kata Deborah dalam sebuah pernyataan. "Mereka membunuh orang tidak bersalah yang tidak pernah menyakiti mereka."
Deborah, yang sekarang 15 tahun dan bersekolah di perdesaan Virginia, datang ke US Capitol (Kantor Kongres AS) untuk menceritakan penderitaannya kepada para pemimpin Komite Urusan Luar Negeri Kongres.
Dia duduk di barisan depan saat anggota komite Kongres, yang dipimpin ketuanya, Ed Royce, yang berasal dari Partai Republik California, mendesak para pejabat Departemen Pertahanan untuk memberi lebih banyak bantuan bagi Pemerintah Nigeria dalam upaya menyelamatkan gadis-gadis yang diculik itu dan untuk membantu militer Nigeria memerangi Boko Haram.
Sejauh ini, catatan hak asasi manusia Nigeria dan sejarah korupsi pejabatnya telah menghambat upaya AS membantu militer negara itu dalam memerangi teroris.
Sebagai seorang perempuan muda yang ceritanya bisa membantu untuk mendapat perhatian dunia, penampilan Deborah mengingatkan orang pada Malala Yousafzai, yang ditembak di wajah oleh Taliban Pakistan terkait usahanya dalam mendorong anak perempuan untuk mendapatkan pendidikan.
Deborah berbicara lembut, tanpa terlihat emosional, ketika menceritakan hari saat dia kehilangan ayah dan saudara laki-lakinya, kemudian melarikan diri dari rumahnya dan kemudian dari negaranya.
Gadis itu mengatakan, ayahnya telah diancam sebelumnya oleh para anggota Boko Haram, dipukuli dan disuruh untuk menghentikan tugas pelayanannya sebaga pendeta. Pada 22 Desember 2011, orang-orang bersenjata datang ke rumahnya sekitar pukul 07.00 malam, sekali lagi menuntut agar ayahnya meninggalkan keyakinannya.
"Ayah saya menolak untuk menyangkal imannya," katanya.
Setelah ia ditembak, orang-orang bersenjata itu berdebat tentang apa yang harus dilakukan terhadap kakaknya. Seorang dari mereka mengatakan, remaja laki-laki itu diselamatkan karena masih muda, kata gadis itu.
Namun seorang pria lain mengatakan, dia harus dibunuh agar tidak tumbuh besar dan menggantikan peran ayahnya.
Deborah mengatakan, dia ingat ayahnya, yang masih bernapas, meninggal ketika melihat Caleb ditembak dua kali di kepala.
"Saya sangat terkejut, jadi saya tidak tahu lagi apa yang terjadi" ketika orang-orang bersenjata itu memaksanya berbaring di samping mayat ayah dan saudaranya.
Gadis itu masih berbaring bersama mayat-mayat itu ketika para tentara Nigeria menemukan dia keesokan harinya.
Ketika ditanya pada konferensi pers itu, apa yang sekarang dia pikirkan tentang Boko Haram, Deborah menjawab dengan terbata-bata dan suaranya kemudian melemah, "Saya pikir mereka jahat."
Deborah mengatakan, dia akan tetap terancam jika masih berada di Chibok, tempat Boko Haram akan menghukumnya karena ibunya pindah agama.
Seorang pendeta lain, yang kemudian juga dibunuh oleh Boko Haram, mengupayakan agar Deborah pergi dari wilayah tersebut. Sebuah kelompok yang disebut Jubilee Campaign membantu dia pindah ke Amerika Serikat.
Demikian menurut informasi yang dia berikan kepada komite Kongres. Dia kini bersekolah di Mountain Mission School, di Grundy, kota kecil di Virginia barat daya, dekat wilayah yang berbatasan dengan Negara Bagian Kentucky.
Sarah Sewall, asisten menteri luar negeri AS untuk urusan keamanan sipil, demokrasi, dan hak asasi manusia, mengatakan dalam testimoninya kepada komite itu, akan keliru jika menyimpulkan bahwa ancaman Boko Haram terutama berdasarkan pertimbangan sektarian.
"Tentu saja, Boko Haram telah menyasar orang-orang Kristen, dan para pejabat Nigeria yakin bahwa 85 persen dari anak-anak yang diculik di Chibok beragama Kristen, dan telah dipaksa untuk masuk Islam setelah mereka diculik," kata Sewall.
"Namun, kami ingin menyoroti bahwa Boko Haram merupakan masalah yang memengaruhi semua warga Nigeria dari berbagai agama. Sesungguhnya, sebagian besar korban Boko Haram, yang saat ini diperkirakan berjumlah 4.000 jiwa, adalah orang Muslim.
Curhat Korban Boko Haram: Mereka Membunuh Orang Tidak Bersalah
Editor: Rachmat Hidayat
AA
Text Sizes
Medium
Large
Larger