Laporan Wartawan Tribunnews.com Reza Gunadha
TRIBUNNEWS.COM, LONDON - Kematian mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew, Senin (23/5/2015), turut mengundang perhatian simpatik dari banyak kalangan dunia, termasuk Indonesia.
Tidak sedikit tokoh maupun masyarakat biasa yang mengucapkan belasungkawa. Bahkan, Presiden RI Joko Widodo yang tengah berada di Jepang, juga turut mengucapkan belasungkawa.
Lee yang merupakan sohib kental penguasa Orde Baru Soeharto, diberitakan media-media massa sebagai tokoh besar yang tegas, dan memiliki cara khas untuk berdemokrasi (Singapore's Model of Democracy).
Namun, di balik semua obituari penuh pujian tersebut, sisi gelap Lee ketika masih berkuasa hanya sedikit terkuak.
Padahal, kelompok pro-demokrasi Singapura menilai Lee merupakan diktator yang hingga kekinian menginspirasi pemerintahan negara kota tersebut untuk bertindak represif terhadap warganya.
Tan Wah Piow, Ketua Serikat Mahasiswa Universitas Singapura (kini Universitas Nasional Singapura; NUS) era 1970-an yang sejak 1976 dibuang ke luar negeri oleh Lee Kuan Yew, buka suara tentang kebengisan sang diktator.
"Dia (Lee Kuan Yew) akan dikenang sebagai diktator yang sukses mempertahankan selubung tipis demokrasi dan ilusi besar tentang negara hukum hingga nafas terakhirnya," tulis Tan Wah Piow di laman berita Freemalaysiatoday.com, Senin (23/5/2015).
Bahkan, Tan mengatakan kematian Lee yang kerap dijuluki "A Little Soeharto" itu, merupakan salah satu peristiwa bersejarah nan gemilang bagi warga Singapura.
Sebab, kematian Lee bisa menjadi simbol pembebasan rakyat Singapura.
"Untuk seseorang yang lebih suka ditakuti daripada dicintai (Lee Kuan Yew), anggota keluarga tercinta dan antek-anteknya yang kini berduka atas kematiannya tidak harus mengambil perkecualian jika kematiannya diperingati sebagai peristiwa bersejarah besar yang pada akhirnya akan mengatur orang bebas," tulisnya.
Untuk diketahui, Tan Wah Piow kini merupakan pengacara. Ia mantan pemimpin pergerakan mahasiswa Singapura untuk melawan rezim Lee Kuan Yew di era 1970-an.
Sejak tahun 1976, ia dibuang oleh rezim Lee ke London, Inggris.
Selanjutnya, ia juga dituduh oleh rezim Lee sebagai otak intelektual gerakan "Marxis Conspiracy" pada tahun 1987.