Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Tokyo
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Pengalaman selama 30 tahun sebagai chef pembuat sushi, menjadikannya sebagai profesional sushi dan buatannya memang sangat enak, tetapi harga sushinya masih wajar, tidak mahal. Satu piring sekitar 300 yen.
Itulah Sushiko dan satu restoran ini di Tsukiji Tokyo dipimpin oleh Toshimitsu Uzawa (49) dengan staf sekitar 4 orang plus tenaga paruh waktu saat toko sedang ramai.
"Kunci sushi sebenarnya kesegaran. Kalau ikan tidak segar, semua akan jadi tidak enak walaupun kita pintar membuatnya," kata Uzawa khusus kepada Tribunnews.com, Senin (25/5/2015) malam sambil menikmati sushi racikan tangannya sendiri.
Saat ini Sushiko hanya ada 25 cabang di Tokyo dan sekitarnya dan 3 toko berada di Tsukiji termasuk yang dipegang langsung oleh Uzawa yang lulus sekolah langsung menjadi koki Sushi.
"Tidak mudah menjadi pembuat sushi disamping pisau juga harus khusus dan sangat tajam. Salah-salah sedikit akan melukai tangan kita," lanjutnya.
Meskipun tangan menjadi hal yang sangat penting, Uzawa tidak mengasuransikan khusus tangannya.
"Itu masuk asuransi jiwa, bukan, kalau kecelakaan ya tinggal dirawat di rumah sakit. Tapi ya memang sulit bekerja kalau tangan kita sudah terluka kecelakaan. Memang perlu juga sih asuransi khusus buat tangan kita, karena pembuat sushi tangan menjadi teramat penting," lanjutnya.
Toko sushi-nya buka dari jam 08.30 pagi hingga jam 23.30, kecuali Minggu dan hari libur antara jam 10.00 sampai dengan jam 22.00.
"Saat ini saya sedang berpikir untuk membuat label halal toko sushi ini karena di sini memang sama sekali tak ada unsur babi. Semua 100 persen hanya makanan ikan laut saja yang segar lalu diramu menjadi sushi. Nanti kalau sudah mendapatkan label halal mungkin akan menarik ya bagi kaum muslim datang ke sini juga," katanya.
Uzawa mengaku belum mengerti sama sekali mengenai label halal. Karena itu dia akan belajar dari orang Jepang yang menjalankan asosiasi label halal di Jepang serta mencoba mengetahui lebih lanjut mengenai Islam.
Restorannya yang bisa berisi sekitar 30 orang pengunjung itu memang baru sekitar 6 bulan lalu, masih baru dan bersih.
"Ikan ini bahan baku maksimum satu setengah hari harus habis. Kalau tak habis ya mungkin dibakar atau digoreng dijadikan makanan lain, ya kita makan sendiri mungkin, atau ya dibuang. Biasanya dalam satu setengah hari ya pasti habis tak tersisa semua terjual. Lalu yang baru masih segar langsung datang lagi dari laut," katanya.
Tsukiji adalah daerah tepi pantai di Tokyo tempat pelelangan ikan yang terkenal di Jepang. Ikan dari laut datang dan tiba di sana sekitar jam 3 pagi, lalu langsung dijual kepada para pemilik toko di pelabuhan pasar ikan tersebut. Dibersihkan dan mulai diproses disiapkan untuk tamu yang datang.
"Jadi membuat sushi harus selalu segar. Tiap pagi tiap hari hanya ikan segar yang baru ditangkap yang dipakai disajikan buat tamu. Sedangkan dulu ada satu toko kami di Yokohama akhirnya ditutup, karena salah satu penyebab, makan waktu mendistribusikan ikan segar ke Yokohama. Kalau jadi tidak segar maka sushi jadi tidak enak, tak ada yang beli, kita rugi ya ditutup lah toko tersebut tak ada lagi kini," jelasnya lagi.
Dengan demikian Sushiko fokus kepada Tokyo dan sekitarnya saja dengan jarak yang tidak jauh dari Tsukiji atau pasar ikan agar ikan tetap segar disajikan kepada para tamunya.
Sushi adalah makanan Jepang yang terdiri dari nasi yang dibentuk atau dikepal bersama lauk (neta) berupa makanan laut, daging, sayuran mentah atau sudah dimasak. Nasi sushi mempunyai rasa masam yang lembut karena dibumbui campuran cuka beras, garam, dan gula.
Asal-usul kata sushi adalah kata sifat untuk rasa masam yang ditulis dengan huruf kanji sushi. Pada awalnya, sushi yang ditulis dengan huruf kanji dari istilah salah satu jenis pengawetan ikan disebut gyosho yang membaluri ikan dengan garam dapur, bubuk ragi atau ampas sake. Penulisan sushi menggunakan huruf kanji yang dimulai pada zaman Edo (1603 - 1867) periode pertengahan merupakan cara penulisan ateji (menulis dengan huruf kanji lain yang berbunyi yang sama).
Sampai tahun 1970-an sushi masih merupakan makanan mewah. Rakyat biasa di Jepang hanya makan sushi untuk merayakan acara-acara khusus, dan terbatas pada sushi pesan-antar.
Dalam manga, sering digambarkan pegawai kantor yang pulang tengah malam ke rumah dalam keadaan mabuk. Oleh-oleh yang dibawa untuk menyogok istri yang menunggu di rumah adalah sushi.
Rumah makan kaitenzushi (penyajian berputar) yang pertama sudah dibuka tahun 1958 di Osaka, penyebarannya ke daerah-daerah lain di Jepang memakan waktu lama. Makan sushi sebagai acara seluruh anggota keluarga terwujud pada tahun 1980-an sejalan dengan makin meluasnya kaitenzushi.
Keberhasilan kaitenzushi mendorong perusahaan makanan untuk memperkenalkan berbagai macam bumbu sushi instan yang memudahkan ibu rumah tangga membuat sushi di rumah. Chirashizushi atau temakizushi dapat dibuat dengan bumbu instan ditambah nasi, makanan laut, tamagoyaki dan nori.