Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Dalam peringatan 70 tahun bom atom Nagasaki, akhir Perang Dunia II, dua calon pilot Kamikaze mengisahkan bagaimana mereka menyiapkan diri mati untuk Kaisar Hirohito dan Jepang.
Hisao Horiyama, pertama kali dihadapkan pada tiga pilihan setelah disodorkan secarik kertas putih: bersedia menjadi relawan Kamikaze, atau hanya jadi relawan biasa, atau tidak sama sekali.
Sebagai seorang pilot berusia 21 tahun, tatkala Negeri Matahari Terbit merasa getir akibat dua bom atom yang dijatuhkan Amerika, ia hanya punya satu pilihan, terbang menjadi pilot Kamikaze demi kehormatan Kaisar dan Jepang.
Dalam pikirannya, tindakan meledakkan pesawat di garis terdepan pertahanan musuh bersama pilot Kamikaze lainnya, akan memberikan kemenangan untuk Jepang dan Kaisar. Horiyama adalah seorang prajurit muda dalam satuan artileri tentara Kekaisaran Jepang ketika dia diwajibkan masuk angkatan udara.
Saat itu adalah akhir 1944, dan gelombang perang berubah melawan Jepang. Saat kamikaze baru dibentuk, pemimpin militer Tokyo membayangkan sebuah unit yang berdedikasi ideologis-prajurit bersedia mati mulia untuk kekaisaran.
Sebagai anak bangsa, dia setia menunggu tawaran yang diberikan kepadanya. Horiyama merindukan saat kemuliaan, mati sebagai anggota kelompok elit Kamikaze. Cerita itu ia sampaikan di usianya 92 tahun kepada Guardian di rumahnya di Tokyo.
Model pesawat pejuang ada di rak buku di ruang tamu apartemen yang ia tinggali bersama istrinya. Di salah satu sudut ruangan ada kotak-kotak karton berisi foto-foto hitam putih pilot Kamikaze, majalah veteran, jurnal dan guntingan surat kabar.
"Ketika kami lulus dari sekolah pelatihan tentara Kaisar Showa [Hirohito], kami dikunjungi unit kuda putih. Saya pikir kemudian ini adalah tanda bahwa waktunya akan tiba. Aku tahu bahwa aku tidak punya pilihan selain mati baginya," cerita Horiyama mengenang masa-masa itu.
"Pada waktu itu kita percaya Kaisar dan bangsa Jepang adalah satu dan sama."
Karena itu, pada Januari 1945 lebih dari 500 pesawat Kamikaze menuju mengambil bagian dalam misi bunuh diri sebagai bentuk perlawana atas invasi AS dan sekutunya. Di akhir perang, lebih dari 3.800 pilot Kamikaze meninggal dengan cara menabrakkan pesawat ke arah kapal dan kekuatan sekutu.
Hisao Horiyama saat mudanya lulusan sekolah pelatihan tentara Kaisar Showa atau Hirohito. (The Guardian)
"Kami tidak berpikir terlalu banyak," kata Horiyama. "Kami dilatih untuk menekan emosi. Bahkan jika kita mati, kita tahu itu untuk suatu tujuan mulia. Mati adalah pemenuhan tertinggi dari tugas kita, dan kita diperintahkan untuk tidak kembali hidup-hidup. Kami tahu bahwa jika kita kembali hidup, atasan kami akan marah."
Seperti pilot lainnya yang dipilih untuk misi bunuh diri, Horiyama diminta untuk menulis suatu kehendak dan sebuah surat yang akan dikirim kepada orangtuanya ketika misi mereka selesai.
"Saya memberitahu ayah bahwa saya tidak menyesal untuk menjadi seorang mahasiswa yang buruk, dan menabrak tiga pesawat selama latihan. Dan saya menyesal bahwa Jepang kini tertekan dalam perang. Aku ingin membuktikan diri kepada Kaisar dan itu sebabnya aku menawarkan diri untuk bergabung dengan unit serangan khusus."
"Tapi ibuku marah. Tepat sebelum meninggal, ia mengatakan kepada saya bahwa dia telah mengampuni ayah saya, jika saya sudah mati dalam serangan Kamikaze. Jadi saya berterima kasih kepada Kaisar bahwa ia telah menghentikan perang."
Jepang masih menerbangkan pilot untuk misi bunuh diri hingga pada 15 Agustus 1945, ketika Kaisar Hirohito mengumumkan Jepang menyerah, akibat serangan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki.
"Aku tidak bisa mendengar pengumuman radio NHK dengan sangat baik saat itu," kata Horiyama. "Satu orang mulai menangis keras. Saat itulah aku tahu kami telah kalah perang."
"Saya merasa gagal karena saya belum mampu mengorbankan diri untuk negara saya. Kawan-kawan saya yang meninggal akan dikenang dalam kemuliaan sebagai patriot. Namun saya tidak punya kesempatan yang sama seperti mereka, mati dengan cara yang sama."
Itu adalah cerita Hisao Horiyama. Tetapi tidak setiap calon Kamikaze sungguh-sungguh dalam keyakinan mereka mati demi Ibu Pertiwi. (The Guardian)