TRIBUNNEWS.COM - Timur Tengah memasuki era koalisi baru dalam bidang intelijen dan militer.
Pada September 2014, terbentuk koalisi internasional pimpinan Amerika Serikat untuk memerangi kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah di wilayah Irak dan Suriah.
Pada Maret 2015, terbentuk koalisi Arab yang terdiri atas sembilan negara pimpinan Arab Saudi untuk memerangi pemberontak Al-Houthi dan loyalis mantan Presiden Ali Abdullah Saleh di Yaman.
Setelah digulingkannya Presiden Muhammad Mursi yang berasal dari Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir oleh militer pada 3 Juli 2013, muncul kubu pro dan kontra IM di Timur Tengah.
Berita terkini adalah Pemerintah Irak pada Minggu, 25 September 2015, mengumumkan bahwa telah dibentuk komite intelijen dan keamanan yang beranggotakan empat negara, yakni Rusia, Iran, Irak, dan Suriah, di Irak untuk memerangi NIIS.
Maka, kini muncullah isu kubu-kubuan di Timur Tengah. Beberapa media menyebut, terbentuknya komite intelijen dan keamanan yang terdiri atas empat negara tersebut adalah Pakta Baghdad II.
Disebut Pakta Baghdad II karena merujuk pada nama Pakta Baghdad I tahun 1955-1956 yang saat itu beranggotakan Inggris, Pakistan, Iran, Turki, dan lantas Irak bergabung pada 1956.
Misi Pakta Baghdad I dan II tentu berbeda sekali. Pakta Baghdad I dibentuk untuk membendung ekspansi ideologi komunis dengan lokomotif Uni Soviet (Rusia sekarang) saat itu. AS, meski tidak menjadi anggota langsung Pakta Baghdad I, mendukung penuh secara ekonomi dan militer terhadap pakta itu.
Citra Pakta Baghdad I di dunia Arab saat itu sangat buruk karena dituduh tidak hanya untuk membendung komunis, tetapi juga menjaga Israel dan simbol kekuatan imperialisme.
Maka, negara-negara Arab saat itu menolak bergabung meskipun sudah dibujuk AS dan negara barat lain. Uni Soviet dan Blok Timur saat itu paling keras menentang Pakta Baghdad I.
Kini, sejarah seperti terulang lagi meskipun dengan misi dan motif yang berbeda.
Citra Pakta Baghdad II di dunia Arab kini juga buruk. Sebab, Pakta Baghdad II, meskipun secara resmi diumumkan untuk melawan NIIS, dituduh menyelamatkan rezim Presiden Bashar al-Assad di Damaskus dan anggotanya adalah negara-negara yang terkategori poros Syiah. AS kini paling keras mengkritik Pakta Baghdad II.
Invasi militer Rusia di Suriah saat ini yang dikritik keras Barat dan sejumlah negara Arab dituduh bagian dari agenda Pakta Baghdad II.
Bukan hal baru
Menurut pengamat Irak urusan gerakan radikal, Hisham al-Hashimi, seperti dikutip harian Asharq al-Awsat edisi Selasa, 29 September 2015, koalisi empat negara itu (Pakta Baghdad II) sesungguhnya bukan hal baru, tetapi sudah berjalan di Suriah.
Ia mengungkapkan, koalisi empat negara itu, ditambah Hezbollah, telah punya kantor operasi di Damaskus dan Latikia di Suriah. Perwakilan Irak di kantor operasi Damaskus dan Latikia diwakili milisi Syiah dengan sepengetahuan Bahgdad.
Menurut mantan Menteri Penerangan Jordania Saleh al-Qallab, Pakta Baghdad II bukan bagian dari solusi, tetapi hanya akan mempersulit karena akan memperuncing persaingan di tingkat global (AS vs Rusia), regional (Arab Saudi dan Turki vs Iran), serta sektarian (Sunni vs Syiah).
(Musthafa Abd Rahman dari Kairo, Mesir)