TRIBUNNEWS.COM, LONDON - Referendum Uni Eropa (UE) akhirnya menghasilkan keputusan yang bersejarah, yaitu Inggris memilih keluar dari UE.
Dari hasil penghitungan suara di 382 wilayah Inggris Raya, 263 wilayah mayoritas memilih keluar dari UE (Brexit).
Sedangkan, 119 wilayah mayoritas memilih agar Inggris tetap bergabung dengan UE (pro UE).
Namun, perolehan suara dikatakan berselisih tipis, di mana perolehan suara untuk Brexit mencapai 51,89 persen dan pro UE 48,11 persen.
Hasil referendum pada Kamis (23/6/2016) itu dinilai tak diduga sama sekali dan bahkan dianggap dapat membuat relasi di UE jatuh krisis.
Kepala Partai Rakyat Eropa Manfred Weber mengatakan hasil referendum telah menunjukkan bahwa Inggris telah melewati batas.
"Hasil referendum tersebut dapat menimbulkan bahaya besar bagi kedua pihak (Inggris dan Uni Eropa)," katanya.
Selain itu, jika keputusan untuk keluar dari UE diambil, tidak akan ada lagi kesempatan untuk kembali bergabung.
Para pemimpin dan pejabat UE tengah mempersiapkan diri untuk krisis yang akan dihadapi pada pekan ini, pascakeputusan Inggris keluar dari UE.
PM Inggris David Cameron telah dijadwalkan untuk memberikan pernyataannya atas keputusan tersebut pada Jumat (24/6/2016) ini.
Mata uang Inggris terjerembab
Poundsterling berada di titik terendah sejak tahun 1985 sebagai respon pasar atas keluarnya Britania Raya dari Uni Eropa.
Hasil penghitungan suara sementara yang menunjukkan Inggris memilih keluar dari Uni Eropa, menyebabkan nilai mata uang Inggris, Poundsterling, anjlok.
Poundsterling sempat menyentuh $1.3305 atau turun 10%, terlemah sejak tahun 1985.