TRIBUNNEWS.COM, LONDON - Usai Inggris resmi memilih untuk keluar dari Uni Eropa (Brexit), Perdana Menteri Inggris David Cameron menyatakan pengunduran diri.
Sementara beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi berharap Inggris tak keluar dari Uni Eropa.
Hal itu dikatakan Presiden Jokowi dalam kunjungan di Brussels, Belgia, Kamis (21/4/2016) lalu, untuk membahas kemungkinan dicapainya perjanjian kemitraan ekonomi menyeleruh (CEPA) antara Indonesia dan Uni Eropa.
"CEPA akan memperkuat ekonomi Indonesia dan negara-negara yang menjadi anggota Uni Eropa. Uni Eropa yang kuat akan memberi kemanfaatan yang besar bagi Indonesia," kata Presiden Jokowi.
"Dalam konteks ini, saya berharap Inggris akan tetap menjadi bagian Uni Eropa," kata Jokowi ketika itu.
Sementara Cameron resmi mengundurkan diri dari jabatannya, setelah puluhan anggota parlemen Partai Buruh mendesaknya untuk mundur.
Pengunduran diri itu disampaikan dalam pidato Cameron di 101 Downing Street, London, Inggris, Jumat (24/6/2016).
"Masyarakat Inggris telah memilih untuk keluar dari Uni Eropa dan pilihan itu harus dihormati," katanya, dikutip Telegraph.
Ia mengatakan bangga bisa menjadi seorang perdana menteri bagi negara itu selama enam tahun terakhir.
Namun Cameron juga menyebutkan bahwa hasil referendum itu pun menandakan bahwa warga Inggris sudah menginginkan kepemimpinan baru.
"Menurut saya, saya sudah tak bisa lagi menjadi pemimpin untuk membawa negara ini mencapai tujuannya," imbuh Cameron, ditemani istrinya, Samantha Cameron. Cameron berbicara dengan suara serak.
Sedianya rapat kabinet akan digelar Senin (27/6/2016) pekan depan untuk membicarakan pengunduran diri itu.
Jelang referendum digelar Kamis (22/6/2016) dua hari lalu, Cameron terus menyuarakan dukungan dan imbauan pada warga Inggris agar menolak Brexit.
Menurutnya, Brexit akan berdampak buruk pada Inggris, terutama pada perekonomian negara itu.
Hasil survei BBC mengungkapkan sekitar 52 persen warga Inggris memilih untuk meninggalkan Uni Eropa, sementara sisanya memilih bertahan menjadi anggota Uni Eropa.
Warga London dan Skotlandia memilih untuk tetap di dalam Uni Eropa, tetapi warga Inggris di wilayah utara menunjukkan hasil sebaliknya.
Adapun pemilih di Wales dan Inggris mendukung Brexit (keluarnya Britania Raya dari Uni Eropa).
Hasil ini membuat pasar bereaksi yang ditandai turunnya nilai mata uang Inggris, Poundsterling ke level terendah terhadap dolar Amerika sejak tahun 1985.
Hasil referendum menyatakan, Inggris akan melepaskan keanggotaannya di Uni Eropa (UE) selama 43 tahun ini.
Keputusan bersejarah itu dispekulasikan akan menimbulkan efek domino di penjuru Eropa. Termasuk menjadi efeknya adalah desakan serupa di negara-negara lain di Eropa untuk keluar dari Uni Eropa.
Seperti yang terjadi di Perancis, di mana anggota partai nasionalis di negara itu menyerukan agar referendum yang sama digelar di Perancis.
Partai Front Nasional Perancis (FN) yang beraliran Euroskeptis memang sudah lama menentang Uni Eropa dan kini semakin gencar menyuarakannya.
Wakil Ketua FN Florian Philippot mengucapkan selamat atas keputusan Brexit yang menang di Inggris dan kebebasan melalui Twitter.
John McDonnell dari Partai Buruh mengatakan Bank Sentral mungkin harus campur tangan untuk meningkatkan kembali nilai Poundsterling.
Pemimpin Partai Independen (UKIP) Nigel Farage--yang berkampanye 20 tahun terakhir agar Inggris meninggalkan Uni Eropa--mengatakan "ini kemenangan untuk rakyat biasa". (tribun/ruth/The Guardian/Telegraph)