Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga menghubungi Presiden Gloria Arroyo Macapagal dalam penanganan sandera tersebut.
Selang beberapa bulan kemudian, pada 16 September 2005, Ahmad Resmiadi berhasil dibebaskan. Kombes Benny Mamoto dalam wawancara Kompas, 21 September 2005, mengatakan, Ahmad dievakuasi dari sarang penyandera yang berjarak satu jam jalan kaki dari pantai Pulau Sulu atau Jolo.
Jeda 10 tahun
penculikan oleh ASG terus berlanjut dengan korban dari berbagai kebangsaan.
Tak terdengar WNI menjadi korban serangan dan penyanderaan lagi sejak 2005 hingga peristiwa yang menimpa 10 awak kapal tunda Brahma 12 pada 24 Maret 2015 sekitar pukul 13.30.
Kapal penarik tongkang batubara itu disergap di perairan Laut Sulu. Kapal tunda Brahma 12 berangkat dari Banjarmasin pada 15 Maret 2016 dengan 10 awak berasal dari berbagai daerah seperti Sulawesi Utara, Poso di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Jawa Tengah dan Jakarta.
Sepuluh ABK itu berhasil dibebaskan 1 Mei lalu dan dijemput Tim Kemanusiaan Yayasan Sukma yang dipimpin Ahmad Baedowi dan politisi Viktor B Laiskodat.
Peristiwa ke-4, yakni penyergapan kapal tunda Henry saat berlayar pulang dari San Fernando, Cebu, menuju Tarakan pada 14 April pukul 18.30.
Kapal itu baru saja mengantarkan batubara yang sangat penting bagi pembangkit listrik di Filipina.
Empat dari 10 ABK yang disandera adalah Mochammad Ariyanto Misnan (22), Loren Marinus Petrus Rumawi (28), Dede Irfan Hilmi (25) dan Samsir (35).
Mereka berhasil dibebaskan tim gabungan TNI dan diangkut dengan KRI ke Tarakan, 10 Mei 2016.
Pada pembebasan ABK kapal tunda Brahma 12 dan Henry disebut tidak ada pembayaran uang tebusan oleh Pemerintah Indonesia.
Ditegaskan, pembebasan itu adalah hasil kerja sama semua pihak dan diplomasi total dengan pemerintah Manila serta pemerintah otonomi Moro di Kepulauan Sulu.
Kini, penyanderaan ke-5 menimpa ABK kapal tunda Charles 001 yang melanggar larangan berlayar ke Filipina.