TRIBUNNEWS.COM, ISTANBUL - Atas kudeta pada Juli lalu, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengusulkan agar dalangnya diganjar hukuman mati.
Recep Erdogan meminta parlemen untuk mempertimbangkan usulnya soal pemberlakuan hukuman mati bagi perencana kudeta.
Padahal, sejak 2004, pemberlakuan hukuman mati di Turki telah dihapus, dalam upaya bergabung dengan Uni Eropa.
"Pemerintah Turki mengajukan (pemberlakuan hukuman mati) pada parlemen," ucap Recep Erdogan, Minggu (30/10/2016).
"Saya yakin parlemen akan menyetujuinya, setelah itu saya akan mengesahkannya. Insya Allah sesegera mungkin," kata Recep Erdogan.
Pernyataan itu kemudian mengejutkan para petinggi Uni Eropa, yang selama ini mengkritik upaya Recep Erdogan dalam merespons kudeta.
Namun, usul Recep Erdogan itu didukung penuh massa pro-pemerintah, yang ikut mendesak agar hukuman mati diberlakukan.
Soal risiko bermasalahnya hubungan Uni Eropa dan Turki atas usul pemberlakuan hukuman mati itu, Recep Erdogan mengaku tetap mendukung usulnya.
"Mengapa Turki selalu mengkaitkan diri kepada Barat? Bisakah Uni Eropa mengembalikan 246 orang korban tewas kudeta itu?," kata Recep Erdogan.
"Yang penting itu apa yang rakyat Turki mau, bukan apa yang Barat mau," ucapnya lagi.
lebih dari 10 ribu orang telah ditangkap di Turki sejak upaya kudeta itu digagalkan oleh Pemerintah Turki.
Mayoritas yang ditahan adalah anggota militer Turki dan beberapa di antaranya adalah hakim dan pegawai negeri sipil.
Recep Erdogan memang telah berjanji untuk membersihkan negara itu dari pengaruh pendukung-pendukung Fethullah Gulen, ulama yang dituduh Erdogan sebagai dalang kudeta itu. (AFP/Hurriyet Daily News)