Sudah beberapa pekan berlalu, tetapi Wasel Yousaf masih menyimpan sebuah foto di ponselnya, untuk membantu menghidupkan kembali kenangan bertemu seorang idola.
"Dia bercanda tentang betapa eratnya saya menjabat tangannya," kata Yousaf, sambil melihat gambar perkenalannya dengan calon presiden Partai Republik saat itu, Donald Trump, yang dikelilingi simpatisan berdarah Arab di Dearborn, Michigan.
Setelah pertemuan itu, sang idola telah menjadi presiden terpilih Amerika Serikat, terutama berkat dukungan suara di Michigan, daerah mengambang yang sebelumnya dikuasai Partai Demokrat.
Pergeseran dukungan elektoral didorong oleh para pemilih seperti Yousaf. Dia adalah koordinator Arab-Amerika di Michigan untuk Trump.
Hilang jejak islamofobia
Di masa jabatan pertamanya, Donald Trump cenderung dimusuhi warga Arab- Amerika dan kaum muslim. Tak lama setelah menjabat pada tahun 2017, dia menandatangani perintah eksekutif yang melarang warga negara asing dari tujuh negara mayoritas muslim memasuki Amerika Serikat. Langkah itu oleh para kritikusnya dilabeli sebagai "larangan muslim".
Selama kampanye pemilu presiden 2024, dia mengatakan akan memberlakukan kembali larangan perjalanan dan memperluasnya untuk "melarang pemukiman kembali pengungsi dari daerah yang dilanda teror seperti Jalur Gaza."
Perang Gaza mencuatkan kekecewaan terhadap pemerintahan Partai Demokrat di bawah Presiden Joe Biden. Hasrat mengubah kebuntuan di Timur Tengah mendorong banyak pemilih Arab-Amerika untuk datang ke tempat pemungutan suara di Dearborn, yang memiliki populasi muslim terbesar di Amerika Serikat.
Banyak yang mengatakan, mereka kecewa dengan kegagalan Biden untuk mengendalikan pemboman Israel di Gaza, yang menurut otoritas lokal telah menyebabkan hampir 45.000 korban jiwa. Konflik teranyar dipicu serangan Hamas pada bulan Oktober 2023 yang menewaskan sekitar 1.200 orang dan menyebabkan 250 orang disandera.
'Damai lewat senjata'
"Sebagian besar komunitas Arab yang beragam di sini terikat dengan akar dan tanah air mereka. Mereka kini menuntut perdamaian. Dan kampanye Trump mengisyaratkan doktrin perdamaian melalui kekuatan," kata Yousaf. "Hal ini membuat kami berharap akan berakhirnya semua perang di seluruh dunia di Ukraina, Gaza, Yaman, dan sekarang di Suriah."
Dalam wawancara pertamanya sejak pemilihan, tanggal 8 Desember silam di stasiun NBC, Trump didesak tentang apakah dia akan menekan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk mengakhiri perang di Gaza.
"Saya ingin dia mengakhirinya, tetapi Israel harus menang," kata Trump. Ucapannya itu diartikan sebagai lampu hijau kepada Netanyahu untuk menumpas lawan. Selama kampanye, Trump menjanjikan perdamaian di Timur Tengah tetapi tidak menawarkan rencana yang jelas tentang cara mencapainya.
Menunggu semua pihak lelah berperang
Bilal Irfan, seorang mahasiswa kedokteran yang sempat bekerja sukarela di sekolah-sekolah di Tepi Barat, merasa tidak yakin pemerintah AS akan mampu mewujudkan perdamaian.
"Sampai Anda melihat perubahan substansial pada pemerintahan Amerika yang belum terjadi, di mana mereka siap membatasi kebijakan Israel, maka Israel akan mendikte waktu, ruang lingkup, dan tingkat genosida yang ingin dilakukannya pada waktunya sendiri," kata Irfan.
"Saya pikir agak sia-sia mengharapkan pemerintahan Trump akan benar-benar membuat perubahan apa pun ketika mereka tidak melihat kebijakan luar negeri Amerika sebagai sesuatu yang independen dari Israel."